Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Hari Jadi Banyuwangi Digugat

walau berita kedaluarsa kayaknya masih patut di simak
Banyuwangi (Bali Post) -
Dialog budaya bertajuk kumpul gesah di Pelinggihan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Minggu (18/10) kemarin, berubah menjadi ajang gugatan terhadap penetapan hari jadi Banyuwangi. Hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 yang diambil dari perang Puputan Bayu, oleh sebagian narasumber kumpul gesah dianggap tidak relevan dengan Kabupaten Banyuwangi. Mengingat, perang Puputan Bayu terjadi di masa pemerintahan Kadipaten Blambangan yang wilayahnya meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Jember dan Banyuwangi.

"Banyuwangi nggak bisa mengklaim 18 Desember 1771 sebagai hari jadinya, karena Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember juga berhak atas tanggal tersebut. Mereka masih berada di bawah kendali Kadipaten Blambangan," papar H. Abdul Kadir Armaya, S.H., Ketua STSI Banyuwangi yang didaulat menjadi pembicara pertama dalam kumpul gesah tersebut.

Menurutnya, penetapan hari jadi Banyuwangi mestinya diambil dari peristiwa sejarah yang terkait dengan lahirnya Banyuwangi sebagai wilayah administratif. Misalnya, pengangkatan Mas Alit sebagai Bupati I Banyuwangi pada 7 Desember 1773, atau perpindahan pusat pemerintahan Banyuwangi dari Benculuk ke Banyuwangi pada 24 Oktober 1774. ''Jangan dilihat karena Mas Alit diangkat oleh Belanda, terus nggak diakui. Itu keliru bahkan bisa menghilangkan satu bukti sejarah yang terjadi di Banyuwangi," tambahnya.

Narasumber lain Drs. Arief Soekowinoto, sejarawan asal Kabupaten Madiun justru menyebut tahun 1777 sebagai hari lahir Banyuwangi. Menurutnya, Banyuwangi yang menjadi bagian Kadipaten Blambangan lahir secara administratif pada tahun 1777 setelah kekuasaan Majapahit tumbang. Ini juga ditandai dengan lepasnya Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember dari kekuasaan Majapahit. Keterangan mantan dosen IKIP Surabaya itu membuat hadirin tercengang. Mereka tidak menduga Arief Soekowinoto yang juga mertua Bupati Ir. H Samsul Hadi itu menawarkan tahun 1777 sebagai hari jadi Banyuwangi.

"Ini bukan buku sejarah tetapi peta sejarah yang menggambarkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Peta ini menulis rentetan sejarah dari 1773-1830. Di sini disebutkan, nama Banyuwangi ada pada tahun 1777. Sebelumnya masih berbentuk kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit. Peta ini bukan sanggahan, tetapi hanya masukan barangkali diterima masyarakat dan budayawan Banyuwangi," jelasnya sambil memperlihatkan peta yang dimaksud.

Penjelasan Drs. Arief Soekowinoto tersebut direspons Bupati Ir. H. Samsul Hadi. Bupati yang bertindak sebagai pembicara kunci meminta budayawan dan masyarakat Banyuwangi mengkaji peta Drs. Arief Soekowinoto sebagai pembanding. Apabila dianggap benar, Bupati meminta tahun 1777 ditetapkan menjadi hari jadi Banyuwangi. ''Nggak apa-apa hari jadi Banyuwangi diubah, asal diawali dengan kajian. Kalau masyarakat Banyuwangi tetap menjadikan 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi, ya terserah. Yang penting sudah dikaji dan disepakati oleh budayawan, sejarawan dan masyarakat Banyuwangi," tegasnya.

Sementara Ir. Azhar Prasetya, ketua panitia seminar ketika 18 Desember 1771 ditetapkan menjadi hari jadi Banyuwangi menjelaskan tanggal 18 Desember 1771 dimunculkan pertama kali oleh pengurus Dewan Harian Cabang (DHC) 1945 Banyuwangi. Mereka menilai, 18 Desember 1771 bernilai patriotik yang diyakini mampu memberi semangat membangun kepada pemerintah dan masyarakat Banyuwangi. ''Jadi yang kami ambil hanya nilai patriotismenya. Soal peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Majapahit memang benar. Tetapi coba lihat, kejadiannya kan di wilayah Kabupaten Banyuwangi tepatnya di Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Di sana (Desa Bayu-red) sudah didirikan monumen perang Puputan Bayu, persis di lokasi yang dulu digunakan perang oleh rakyat Blambangan," bebernya.

Melihat kuatnya desakan dari budayawan untuk mengkaji ulang hari jadi Banyuwangi, dalam waktu dekat Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Banyuwangi akan menggelar sarasehan hari jadi Banyuwangi. Itu untuk mencari masukan sebelum mengkaji literatur dan referensi yang memuat sejarah Blambangan dan Majapahit. "Kami akan undang pakar sejarah dan budayawan yang pernah melakukan kajian di Banyuwangi untuk mengungkap hari jadi Banyuwangi yang benar-benar bernuansa Banyuwangi. Bukan nuansa Blambangan atau Majapahit," kata Ketua STSI Banyuwangi H. Abdul Kadir Armaya, S.H. (gik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar