Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Hari Jadi Banyuwangi Digugat

walau berita kedaluarsa kayaknya masih patut di simak
Banyuwangi (Bali Post) -
Dialog budaya bertajuk kumpul gesah di Pelinggihan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Minggu (18/10) kemarin, berubah menjadi ajang gugatan terhadap penetapan hari jadi Banyuwangi. Hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 yang diambil dari perang Puputan Bayu, oleh sebagian narasumber kumpul gesah dianggap tidak relevan dengan Kabupaten Banyuwangi. Mengingat, perang Puputan Bayu terjadi di masa pemerintahan Kadipaten Blambangan yang wilayahnya meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Jember dan Banyuwangi.

"Banyuwangi nggak bisa mengklaim 18 Desember 1771 sebagai hari jadinya, karena Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember juga berhak atas tanggal tersebut. Mereka masih berada di bawah kendali Kadipaten Blambangan," papar H. Abdul Kadir Armaya, S.H., Ketua STSI Banyuwangi yang didaulat menjadi pembicara pertama dalam kumpul gesah tersebut.

Menurutnya, penetapan hari jadi Banyuwangi mestinya diambil dari peristiwa sejarah yang terkait dengan lahirnya Banyuwangi sebagai wilayah administratif. Misalnya, pengangkatan Mas Alit sebagai Bupati I Banyuwangi pada 7 Desember 1773, atau perpindahan pusat pemerintahan Banyuwangi dari Benculuk ke Banyuwangi pada 24 Oktober 1774. ''Jangan dilihat karena Mas Alit diangkat oleh Belanda, terus nggak diakui. Itu keliru bahkan bisa menghilangkan satu bukti sejarah yang terjadi di Banyuwangi," tambahnya.

Narasumber lain Drs. Arief Soekowinoto, sejarawan asal Kabupaten Madiun justru menyebut tahun 1777 sebagai hari lahir Banyuwangi. Menurutnya, Banyuwangi yang menjadi bagian Kadipaten Blambangan lahir secara administratif pada tahun 1777 setelah kekuasaan Majapahit tumbang. Ini juga ditandai dengan lepasnya Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember dari kekuasaan Majapahit. Keterangan mantan dosen IKIP Surabaya itu membuat hadirin tercengang. Mereka tidak menduga Arief Soekowinoto yang juga mertua Bupati Ir. H Samsul Hadi itu menawarkan tahun 1777 sebagai hari jadi Banyuwangi.

"Ini bukan buku sejarah tetapi peta sejarah yang menggambarkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Peta ini menulis rentetan sejarah dari 1773-1830. Di sini disebutkan, nama Banyuwangi ada pada tahun 1777. Sebelumnya masih berbentuk kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit. Peta ini bukan sanggahan, tetapi hanya masukan barangkali diterima masyarakat dan budayawan Banyuwangi," jelasnya sambil memperlihatkan peta yang dimaksud.

Penjelasan Drs. Arief Soekowinoto tersebut direspons Bupati Ir. H. Samsul Hadi. Bupati yang bertindak sebagai pembicara kunci meminta budayawan dan masyarakat Banyuwangi mengkaji peta Drs. Arief Soekowinoto sebagai pembanding. Apabila dianggap benar, Bupati meminta tahun 1777 ditetapkan menjadi hari jadi Banyuwangi. ''Nggak apa-apa hari jadi Banyuwangi diubah, asal diawali dengan kajian. Kalau masyarakat Banyuwangi tetap menjadikan 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi, ya terserah. Yang penting sudah dikaji dan disepakati oleh budayawan, sejarawan dan masyarakat Banyuwangi," tegasnya.

Sementara Ir. Azhar Prasetya, ketua panitia seminar ketika 18 Desember 1771 ditetapkan menjadi hari jadi Banyuwangi menjelaskan tanggal 18 Desember 1771 dimunculkan pertama kali oleh pengurus Dewan Harian Cabang (DHC) 1945 Banyuwangi. Mereka menilai, 18 Desember 1771 bernilai patriotik yang diyakini mampu memberi semangat membangun kepada pemerintah dan masyarakat Banyuwangi. ''Jadi yang kami ambil hanya nilai patriotismenya. Soal peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Majapahit memang benar. Tetapi coba lihat, kejadiannya kan di wilayah Kabupaten Banyuwangi tepatnya di Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Di sana (Desa Bayu-red) sudah didirikan monumen perang Puputan Bayu, persis di lokasi yang dulu digunakan perang oleh rakyat Blambangan," bebernya.

Melihat kuatnya desakan dari budayawan untuk mengkaji ulang hari jadi Banyuwangi, dalam waktu dekat Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Banyuwangi akan menggelar sarasehan hari jadi Banyuwangi. Itu untuk mencari masukan sebelum mengkaji literatur dan referensi yang memuat sejarah Blambangan dan Majapahit. "Kami akan undang pakar sejarah dan budayawan yang pernah melakukan kajian di Banyuwangi untuk mengungkap hari jadi Banyuwangi yang benar-benar bernuansa Banyuwangi. Bukan nuansa Blambangan atau Majapahit," kata Ketua STSI Banyuwangi H. Abdul Kadir Armaya, S.H. (gik)
                                          Genjer-Genjer



Lagu berjudul Genjer-genjer menjadi salah satu penggalan cerita yang mengiringi peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal dengan sebutan G30S-Partai Komunis Indonesia. Konon, lagu yang menceritakan tentang tanaman genjer (limnocharis flava) itu dinyanyikan oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)-PKI, saat menyiksa para petinggi TNI di Lubang Buaya.

Cerita mengerikan versi Orde Baru yang lambat laun mulai diragukan seiring tidak terbuktinya penyiksaan para jenderal itu, membuat image lagu Genjer-genjer ikut pula mengerikan. Apalagi, G30S diikuti rentetan penculikan dan pembunuhan di beberapa kantong PKI. Termasuk di Banyuwangi, tempat pencipta lagu Genjer-genjer Muhammad Arief tinggal.
Benarkah lagu Genjer-genjer identik dengan PKI? Pertanyaan lama yang selalu dibantah, namun tetap tidak menghapus stigma. Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menceritakan, lagu Genjer-genjer diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943.
“M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Begitu terkenalnya lagu yang nadanya mirip dengan lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo itu hingga Seniman Bing Slamet dan Lilis Suryani pun menyanyikannya.

Kedekatan lagu itu dengan PKI tidak bisa dilepaskan dengan kondisi politik di tahun 1965. Masa di mana politik Indonesia membuka ruang bagi ideologi apapun itu membuahkan persaingan antar partai politik. Termasuk persaingan dalam hal berkesenian.
Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lesbumi, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) serta Masyumi dengan Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI). “Lekra menggandeng seniman Banyuwangi, termasuk Muhammad Arief,”.
Sejak digandeng Lekra, seni Banyuwangi-an semakin dikenal. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara PKI dan underbownya. Termasuk lagu Genjer-genjer yang diciptakan di tahun 1943, lagu Nandur Jagung dan lagu Sekolah.

Muhammad Arief sebagai seniman pun ditawari bergabung dengan Lekra dan ditempatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta mengarang lagu yang senapas degan ideologi PKI. Seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi.
“Kalau kita resapi, lagu Genjer-genjer memang tidak memiliki makna apa-apa, hanya bercerita tentang tanaman genjer yang dulu dianggap sampah kemudian mulai digemari,”.
“Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh,” adalah bait asli dari lagu genjer genjer.

Entah, siapa yang memulai, pasca G30S, syair lagu Genjer-genjer pun dipelesetkan dengan syair yang menceritakan aksi penyiksaan para jenderal korban G30S. “Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler, Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral, Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh, Jendral Jendral saiki wes dicekeli,” Begitu bunyi gubahan lagu itu. “Gubahan itu sebenarnya tidak ada!”


sumber : zona-orang-gila.blogspot.com
HONG WILAHENG
Oleh: Gombloh (1977)

[kec. ref., dari: Pangkur 1 & 12, Serat Wedhatama - KGPAA Mangkunegoro IV]
Mingkar-mingkuring angkoro
Akarono karnan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinubo sinukarto.
Aduh Gusti pakertining ngelmu
ingkang tumrap ning ngalam dunyo
Agomo ageming aji.
Sopo entuk wahyuning Allah
Gyo dumilah mangulah ngelmu bangkit
Bangkit mikat reh mangukut
Kukutaning jiwanggo.
Yen mangkono keno sinebut wong sepuh
liring sepuh sepi howo, awas roroning atunggil
Hong wilaheng sekareng bhawono langgeng... Sekar mayang...
Hong wilaheng sekareng bhawono langgeng... Sekar kajang...
Hong wilaheng sekareng bhawono

Menghindarkan diri dari angkara. Bila akan mendidik putra. Dikemas dalam keindahan syair. Dihias agar tampak indah. Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai. Ya Tuhan, kenyataannya, di dunia, agama dianut  raja.
Barangsiapa mendapat anugrah Allah. Akan cepat menguasai ilmu. Bangkit merebut daya. Atas kesempurnaan dirinya.  Bila demikian,  ia  dapat  disebut orang tua.  Artinya sepi dari nafsu kemurkaan (nafs al-muthmainnah; QS 89:27)
Dialek atau Bahasa osing ?

Dari segi sejarah atau intern dari wong using sendiri baik lapisan bawah dan  atas ,semua sepakat bahwa bahasa osing adalah suatu bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa yang lainnya walaupun ada kemiripan2 tertentu.. penulis sendiri mengalami /melihat mengapa bahasa osing adalah bahasa tersendiri walaupun kalu dirunut dari atas masih mempunyai kesamaan-kesamaan dengan bahasa jawa kuno. salah satu dasar perbedaan bhs osing dengan bhs jawa adalah ketidakpahaman masyarakat using secara umum berbicara menggunakan bahasa jawa dari turun temurun.ini bisa di lihat dari bagaimana sebuah percakapan sulit  nyambung bila menggunakan bahsa yang berlainan.ini bisa sy lihat sendiri pada era tahun tahun 80 an kebawah......seiring dengan waktu dan kemajuan bukan tidak mungkin bahasa osing bisa berubah menjadi sebuah dialek
sebagian pakar linguistik memaksakan bahwa bahasa osing adalah sebuah dialek..saya terus terang kurang memahami penilaian sepihak ileh linguis.kenapa sebuah bahasa kelompok tertentu yang jelas mempunyai sendiri budaya,kebiasaan, sosial,karakter turun temurun bisa di kategorikan sebagai hanya sebuah dialek???apanya yang salah?mungkin bisa juga dipertanyakan" apakah bahasa Sansekerta bisa juga dikatakan sebuah dialek jawa? juga apakah bahasa minang yang nota bene adalah bahasa indonesia yang hanya banyak diberikan akhiran2 tertentu( kambing= Kambiang) juga dikatakan dialek melayu???dan yg lainnya spt jg bahasa jambi,palembang.
untuk menentukan masyarakat bahasa juga tidak bisa hanya dengan dasar linguistik tetapi lebih di tentukan/pendekatan  faktor sejarah,politik dan identifikasi kelompok{Ibrahim,1994).disini seyogyanya melihat/memahami sesuatu tidak hanya dengan disiplin ilmu yang hanya berdasar teori-teori tertentu,tetapi yang lebih penting bagaimana ilmu bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

menurut Safriandi, S.Pd. ada satutu hal yang menjadi permasalahandialek Permasalahan yang dimaksud adalah dialek memiliki ciri-ciri yaitu adanya rasa saling mengerti di antara penutur. Benarkah suatu ciri-ciri dialek seperti ini? Ketika di Sinabang, penulis berkomunikasi dengan masyarakat setempat dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan masyarakat tersebut berbicara dengan menggunakan bahasa Jamèe. Meskipun berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, kami tetap dapat saling memahami. Kendala yang saya alami hanya tidak dapat berbicara dengan bahasa Jamèe, begitu pula sebaliknya. Apakah bahasa Indonesia dan bahasa Jamèe merupakan dialek?
Sekarang, mari kita cermati kasus yang sama dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu di daerah perbatasan antara Belanda dan Jerman. Dalam berinteraksi, kedua penduduk yang terletak di perbatasan kedua negara ini menggunakan bahasa negara masing-masing. Artinya, penutur yang berbahasa Belanda akan berinteraksi dengan penutur yang berbahasa Jerman dengan menggunakan bahasa Belanda dan penutur berbahasa Jerman akan meresponnya dengan bahasa Jerman. Meskipun dengan bahasa yang berbeda, mereka tetap dapat saling mengerti. Apakah kedua bahasa ini merupakan dialek karena kedua penuturnya dapat saling mengerti terhadap bahasa yang diucapkan oleh masing-masing lawan tutur?kata Safriandi Spd
Berkaitan dengan hal ini, Sumarsono (2007:24) menyebutkan bahwa ciri yang paling tepat untuk dialek adalah ciri sejarah dan ciri homogenitas.


Mari kita coba juga menyimak cuplikan ulasan dari Akhmad sofyan Dalam
“Bagaimana Seharusnya Linguis Memperlakukan “Bahasa”? (Akhmad Sofyan)

Menurut Akhmad sofyan “Para linguistic menganggap  bahwa  objek  kajian  penelitian  bahasa  berkisar  pada  hal-ihwal struk tur  bahasa  dan  bukan  pada  segi  penggunaannya.  Persepsi  k edua  menilai bahwa  upaya  memahami  makna  dan  manfaat  bahasa  akan  berakhir  sia-sia,  jika penelaahannya  dilepaskan  dari  konteks  penggunaannya  dalam  kehidupan masyarakat dan budaya penuturnya. Begitu  juga  dalam  menentukan  masyarakat  bahasa.  Di  kalangan  linguis sampai sek arang masih terjadi ketidak sepahaman. Ketidaksepahaman di kalangan linguis  itu  terjadi  karena  satu  pihak   menggunakan  pendekatan  linguistis, sedangkan pihak  yang lain menggunakan sudut pandang sosiologis.  Linguis  yang  dapat  dikategorikan  sebagai penganut  persepsi yang  pertama adalah  Bloomfield  dan  Chomsky,  sedangkan  penganut  persepsi  yang  kedua adalah  Hymes.  Sebagai  bukti  bahwa  masih  terjadi  ketidak sepahaman    tentang definisi  masyarakat  bahasa  adalah  seperti  yang  dikemukakan  oleh  Wardhaugh (1988)  bahwa,  "Hymes  (1974,  p.47)  dis agrees  with  both  Chomsk y's  and Bloomfield's  definition  of a  speech community. He claims that these simply reduce the  nation  of  speech  community  to  that  of  language  and,  in  effect,  throw  out 'speech community' as a worthwhile  concept".   

kedua "bahasa"  terjadi kesalingmengertian (mutual intelligible), maka kedua  orang itu  merupakan  masyarak at  bahasa  yang  sama.  Dengan  demikian,  "bahasa"  yang dipakai  oleh  kedua  penutur  tersebut  tidak  dapat  dikatakan  sebagai  bahasa  yang berbeda, tetapi merupakan dialek dari satu bahasa.  Persepsi  yang  pertama  menganggap  bahwa  apabila  antara  penutur  dari Persepsi  yang  kedua  menganggap  bahwa  penentuan  masyarak at  bahasa tidak  didasarkan  atas  faktor-faktor  linguistik  murni,  tetapi  lebih  ditentukan  oleh faktor  sejarah,  politik,  dan  identifikasi  k elompok  (Ibrahim,  1994).  Hymes  (dalam
Wardhaugh, 1988) mengatakan, "… speech  communities cannot be  defined  solely through  the  use  of  linguistic  criteria:  the  way  in  which  people  view  the  language they speak is also important, that is, how they evaluate accents; how they establish the fact that  they  speak one language  rather than another; and how they maintain language  boundaries".

 Maksudnya,  masyarakat  bahasa  tidak  dapat  ditentukan hanya  dengan  menggunak an  kriteria-kriteria  linguistis.  Bagaimana  cara  orang melihat  bahasa  juga  merupakan  sesuatu  yang  perlu  diperhatikan.  Misalnya,bagaimana  orang  melihat  sebuah  aksen;  apakah  mereka  menganggap  atau menetapkan  bahwa  merek a  menggunakan  bahasa  yang  berbeda  dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain, serta bagaimana mereka menetapkan batas-batasbahasa,  merupakan  hal-hal  yang  harus  diperhatikan  dalam  menentukan masyarakat bahasa.  Sejalan  dengan itu, Halliday  (1968) mengatakan  bahwa mas yarakat  bahasa adalah  sekelompok  orang  yang  merasa  atau  menganggap  diri  mereka  memakai bahasa  yang  sama.  Dalam  menentukan  masyarakat  bahasa,  penekanannya adalah  pada  kata  merasa,  sehingga  yang menentuk an apakah  suatu mas yarakat merupakan bagian dari masyarak at bahasa yang lain  atau merupakan  masyarakat tersendiri adalah diri mereka sendiri. Berdasarkan  pendapat-pendapat  tentang  masyarak at  bahasa  tersebut,  kita dapat  mengatakan  bahwa  fakta-fakta  linguistik  tidak  dapat  dipergunakan  sebagai dasar  untuk  menentukan  apakah  bahasa  yang  dipergunakan  oleh  suatu masyarakat  merupakan  satu  bahasa  atauk ah  merupakan  dialek  dari  bahasa  lain.
Hal  yang  paling  penting  dalam  penentuan  "bahasa"  adalah  bagaimana kelompok penutur tersebut menyikapi bahasa yang digunakannya. 
Kedudukan  linguis  sebagai  makhluk  yang  paling  penting  dalam  bidang kebahasaan  dan  paling  berkepentingan  dengan bahasa menyebabkanpendapatnya  tentang  bahasa  menjadi  pertimbangan  utama  dalam  menentukan kebijakan bahasa. Dengan  dasar itu kita tidak  dapat menyalahkan  Hasan Ali  yang mengatakan  bahwa  para  peneliti  bahasa  (baca:  linguis)  sangat  merugikan masyarakat dan budaya Osing.  Namun demikian, dengan kedudukan itu yang harus kita sadari adalah  bahwa  predikat  itu  membawa  konsek wensi  berupa  tanggung  jawab. Tanggung  jawab  utama  kita  adalah  peles tarian  bahasa.  Kalau  sampai  terjadi sebuah  "bahasa"  (yang  banyak  jumlah  penuturnya)  menjadi  punah—apalagi kepunahan  itu  diak ibatkan oleh  kesalahan kita  dalam  memperlakuk an "bahasa"—maka  linguislah  yang  harus  bertanggung  jawab,  karena  secara  tidak  langsung telah  bertindak   sebagai  "pemerkosa"  bahasa.  Sebab,  menurut  Suriasumantri (2001),  seorang  ilmuwan  mempunyai  tanggung  jawab  sos ial,  dan  sangat berpengaruh  dalam  kelangsungan  hidup  bermasyarakat.  Seorang  ilmuwan  harus memberikan  perspektif  yang  benar  dengan  mempertimbangkan  untung-rugi  dan baik-buruk  dalam menyikapi suatu persoalan. 
Dalam  kasus  "bahasa"  Osing,  sudah  jelas  masyarakat  Osing  menganggap diri  mereka  menggunakan  bahasa  yang  berbeda  dengan  dengan  bahasa  Jawa, tetapi para linguis tetap menyebutnya sebagai bahasa Jawa dialek Osing. Padahal kalau  kita  mengacu  pada  persepsi  yang  kedua  dalam  melihat  bahasa  sebagai objek  kajian,  bahwa:  dalam  menentukan  masyarakat  bahas a,  penekanannya adalah pada kata "merasa".  Hal  yang  paling  menentukan  apakah  suatu  masyarakat  merupakan  bagian dari  masyarakat  bahasa  yang  lain  atau  merupakan  masyarakat  bahasa  tersendiri adalah  diri  mereka  sendiri.    Berkaitan  kriteria  masyarak at  bahasa itu,  yang  harus dijadikan  pertimbangan  utama  dalam  menentukan  "bahasa"  sebagai  bahasa ataukah  sebagai  dialek  dari  bahasa  lain  adalah  bagaimana  para  penuturnya menyikapi bahasa yang digunakannya.    Kalau sampai  terjadi gegeran tentang  penyebutan "bahasa", dan "bahasa" tersebut  akhirnya  punah,  maka  sebagai  ilmuwan  kita  bukan  hanya  tidak memberikan  kemanfaatan  untuk  masyarakat. Lebih  parah  lagi,  kita  telah  menjadi "pemerkosa".  Padahal,  menurut  Hoed  (2001),  s edapat  mungkin  kita  harus berupaya  agar  penelitian  yang  dilakukan  memberik an  manfaat  kepada  tiga  hal, yaitu: (1) untuk  peneliti  sendiri,  (2)  untuk  bidang  ilmu  yang bersangk utan,  dan  (3) untuk masyarakat. Penelitian  yang  tidak   memberikan  manfaat  untuk  masyarakat  (menurut  Hoed, 2001)  dapat  dikatakan  sebagai  penelitian  yang  tidak  sempurna.  Ilmu  harus mempunyai  kegunaan  praktis  dalam  menyelesaikan  mas alah-masalah kemanusiaan.  Pandangan  "ilmu  untuk  ilmu"  sudah  ketinggalan  jaman   Sekarang  bagaimana  dengan  komentar  sejawat  saya  bahwa,  "Wong linguistik iku  termasuk jenis  manusia  sing demen onani"?  Saya pikir sejawat saya itu  berk omentar  demikian  karena  ia  melihat  bahwa  para  linguis  hanya memperlakukan  bahasa  dan  pemakai  bahasa  sebagai  objek,  dan  bukan  sebagai subjek.  Para  linguis  a-priori  terhadap  keinginan  dan  sikap masyarakat  penutur bahasa  yang ditelitinya. Para linguis dilihatnya sebagai seorang  yang sangat egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Para linguis hanya memandang bahasa  dan penutur bahasa s ebagai "proyek" untuk dirinya sendiri. Harus kita akui,  bahwa  hasil-hasil  penelitian  linguistik   yang  telah  dilakukan selama ini kurang (kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali) memberikan kemanfaatan  prak tis   untuk  masyarakat. Tetutamapenelitian-penelitian  bahasa yang  melepaskan  bahasa  dari  konteks  sosial  penuturnya.  Pihak  yang mendapatkan  manfaat dan kepuasan dari penelitian linguistik  hanyalah penelitinya  sendiri.  Manfaat  untuk  bidang  ilmu  pun  tampaknya  masih  perlu  dipertanyakan.  jelas Akhmad sofyan dalam “Bagaimana Seharusnya Linguis Memperlakukan “Bahasa”? dalam www.unej.ac.id



kelendi kang……….



ki kuda kedhapan

Bukan dialek tapi bahasa daerah
















Hasan Ali

Cinta Hasan Ali pada bahasa Osing bukan hanya dituangkan dalam Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Ia melawan arus, bersilang pendapat dengan para pakar bahasa Jawa. Menurut Hasan, bahasa Osing adalah bahasa daerah yang berkembang di tengah etnis Osing di Banyuwangi. Sedangkan para pakar bahasa Jawa yakin bahasa Osing tak lebih dari dialek saja. Menurut mereka, bahasa Osing adalah bahasa Jawa berdialek Osing atau dialek Banyuwangi.
Hasan tak hanya berperang wacana di media massa. Dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang, tahun 1996, ia tampil sebagai pembicara. Di depan ratusan pakar bahasa Jawa, ia menegaskan bahwa bahasa Osing adalah bahasa daerah dan bukan sekadar dialek. Kesimpulan ini berangkat dari penelitian Prof. Dr. Suparman Heru Santosa. Setelah melewati uji rumus dan teori linguistik, bahasa Osing dinyatakan sebagai dialek dari bahasa Jawa Kuno. "Artinya, sama dengan bahasa Jawa Baru, Madura, Sunda, sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno," katanya.
Budayawan Banyuwangi ini tak menampik adanya kedekatan ungkapan antara bahasa Osing dan bahasa Jawa. Misalnya kosakata "sekali lagi". Masyarakat Osing menyebutnya "maning" dan orang Jawa bilang "maneh". Contoh lain kalimat "ada apa?". Dalam bahasa Jawa biasa diungkapkan "ono opo?". Sedangkan dalam bahasa Osing diungkapkan dengan "ono paran?". Adanya kesamaan leksikon dan pinjam-meminjam istilah ini, "Sesuatu yang lumrah dan wajar," kata pria berdarah Madura, Pakistan, dan Osing ini.
Novi Anoegrajekti, dosen Fakultas Sastra Universitas Jember, dalam pengantar novel Kerudung Santet Gandrung, punya pendapat menarik tentang bahasa Osing. Masyarakat Osing adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan kecil di ujung timur pulau Jawa yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Penyerbuan terus-menerus oleh Majapahit membuat masyarakat Osing cenderung defensif, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Dan itulah potensi oposisi terhadap orang-orang Jawa Kulon.
Sikap oposisi ini diwujudkan dalam bentuk sosio-kultural. Masyarakat Osing enggan mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa. Mereka menegaskan identitas diri yang berbeda. Salah satunya, "Menggunakan bahasa Osing," kata Novi. Selain itu, muncul kesenian gandrung yang sebenarnya mirip tayub dan ronggeng di Jawa Tengah. "Ini contoh mereka menegaskan identitas dirinya," katanya.
Istilah Osing sendiri berasal dari kata sing atau hing, yang berarti "tidak". Menurut Novi, penduduk "asli" Banyuwangi yang menolak hidup bersama pendatang dari luar, sikap defensif ini buah dari trauma psikologi penyerbuan orang-orang Majapahit ke Kerajaan Blambangan. Penegasan identitas diri itu melahirkan bahasa, tradisi, dan pranata sosial yang berbeda dengan masyarakat Jawa kebanyakan.
Bahasa Osing pernah mencapai masa kejayaan ketika Prabu Tawang Alun (1655-1691) menjadi penguasa Kerajaan Blambangan. Pada 1743, Blambangan harus berada di ketiak VOC gara-gara Pakubuwono II menyerahkan Jawa Bagian Timur kepada VOC. Untuk memperkuat argumentasi ini, Hasan Ali menyodorkan cerita tentang Sri Tanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan. "Tapi, setelah masa itu, bahasa Osing mengalami kemunduran," kata Hasan, yang telah menulis buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using sebagai kurikulum sekolah.
Bisa jadi rasa malu itu membuat masyarakat Osing sendiri beralih ke bahasa Jawa. Apalagi, sebelum Hasan Ali memperjuangkannya masuk kurikulum sekolah, nyaris tak ada sekolah yang mengajarkan bahasa Osing. Kondisi rawan ini membuat Hasan tergugah. "Kalau dibiarkan, dalam satu abad bahasa Osing akan punah," katanya. Senyampang belum parah dan punah, tak salah jika Hasan bercapek-capek mewariskan dokumentasi tertulis berupa kamus. Arif Firmansyah, Mahbub Junaedi (Banyuwangi)
Hasan yang juga ayah dan kakek dari penyanyi Emilia Kontesa dan Dedana Tambunan ini memang tidak bisa dilepaskan dari budaya Suku Using. Sejak mengenal kesenian yang disebut-sebut sebagai “sisa” masyarakat Kerajaan Blambangan itu saat dirinya remaja, Hasan tidak pernah bisa melupakannya. Karena itu juga, ketika teman-teman sebayanya memilih bermain di sawah, Hasan muda justru berlajar kesenian Using. "Sejak remaja saya suka kesenian Using," kenangnya. Kegemarannya berkesenian semakin mendapatkan “tempat” saat Hasan tergabung dalam kelompok kesenian di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Karena kesenian jugalah, akhirnya saya dipercaya PNI menjadi anggota DPRD Banyuwangi hingga tahun 1966,” kenang Hasan Ali. Ironisnya, pertikaian politik jaman itu juga sempat memposisikan Hasan dalam “bahaya”. Apalagi saat Muhammad Arif, pencipta lagu Genjer-Genjer bersama ratusan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lainnya hilang usai peristiwa Gerakan 30 September. Peristiwa itu juga yang membuat kesenian Banyuwangi, “tiba-tiba” diidentifikasi sebagai seni milik PKI.

Padahal, kenang Hasan, yang terjadi justru sebaliknya. PKI-lah yang sebenarnya ingin menghapus seni Banyuwangi. Karena dianggap sebagai seni yang mendorong merosotnya moral masyarakat. “Memang benar, PKI menggunakan lagu Genjer-Genjer sebagai lagi perjuangan, tapi di samping itu, justru PKI yang melarang tari Gandrung Banyuwangi, karena dianggap merosotkan moral masyarakat,” katanya.

Lagu Genjer-Genjer, kata Hasan, diciptakan Arif pada jaman Jepang, sebagai penyemangat masyarakat yang kala itu diselimuti kemiskinan. Sementara Tari Gandrung Banyuwangi tak lebih dari tarian pergaulan. Tidak ada makna lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan penari Gandrung juga berupa pantun-pantun lokal yang memiliki nilai kearifan. “Biru-biru godonge manggis jeruk purut digawe gemparan, buru-buru omongi manis serto diturut gak paran-paran,” Hasan menyanyikan sebuah syair yang biasa dinyanyikan dalam Tari Gandrung.

Kesan amoral dalam tarian itu muncul karena ada orang tertentu yang memperlakuan gandrung dengan tidak semestinya. Dengan mempertontonkan tarian itu di lokalisasi-lokalisasi di Banyuwangi. “Pelan-pelan, Tari Gandrung pun diidentikkan sebagai tarian mesum,” katanya.

Keadaan berubah pasca tahun 1965. Hasan yang ketika itu sudah bertugas sebagai pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi, diminta mantan Bupati Joko Supaat Slamet untuk “menyelamatkan” tari Gandrung. “Saya dan teman-teman membuat rumusan untuk kembali membina Tari Gandrung menjadi tari pergaulan anak mua dengan cara yang santun dan bagus,” katanya. Puluhan seniman lokal pun dikumpulkan dan diajak berdiskusi. Singkat kata, Tari Gandrung pun kembali “dipandang”. Bahkan sempat diundang ke Istana Negara saat Mantan Presiden Soeharto masih berkuasa. Tari Gandrung kini menjadi simbol Kabupaten Banyuwangi.

Di sela-sela memperbaiki image Tari Gandrung Banyuwangi itu, Hasan menemukan “permata” Banyuwangi lain yang juga diambang kepunahan. Yakni bahasa Using milik Suku Using Banyuwangi. Bahasa yang digunakan Suku Using ini pelan-pelan mulai hilang di masyarakat. Tidak ada lagi warga Banyuwangi, bahkan warga Suku Using yang menggunakannya. “Entah, tiba-tiba mereka malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri,” kata Hasan.

Hasan lantas mengajak beberapa seniman Banyuwangi lain untuk mengadakan seminar kecil bertema cara mempertahankan Bahasa Using. Rumusan terpenting dari seminar yang digelar pada tahun 1980-an itu adalah memperkenalkan Bahasa Using di pendidikan dasar. “Tapi hal itu bukan hal yang mudah, tidak seperti bahasa Jawa yang sudah turun temurun terbukukan dengan baik, selama ini tidak ada buku panduan berbahasa Using,” katanya. Untuk itu, agenda pertama penyelamatan Bahasa Using adalah membuat buku panduan Bahasa Using.

Hasan lantas mengumpulkan semua data tentang Suku Using yang dimilikinya. Termasuk 28000 kata bahasa Using yang hingga kini sebagian besar masih digunakan. Hingga 10 tahun kemudian, Hasan Ali secara resmi mengeluarkan tiga buku Tata Bahasa, Pedoman Ejaan dan Kamus bahasa Using. "Bahasa Using memiliki spesifikasi dan kekhasan pada pengucapan dan perbedaan kosakatanya," jelas Hasan. Dari tiga buku yang diciptakan Hasan, yang paling sulit adalah buku Tata Bahasa Using. Dalam prosesnya, mantan Ketua Dewan Kesenian Banyuwangi ini harus belajar bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Bali sebagai bahan perbandingan.

Kekhasan Bahasa Using terletak pada paratalisasi unsur, M, N, NYE, ENG, R, LE, W dan Y yang dalam pengucapanya ditambahi huruf I atau U. Selin itu, ada penekakan dan kedalaman pengucapan. misalnya siro (kamu-JAWA) menjadi sihrho. Limo (lima-JAWA) menjadi lhimho. Begitu juga dengan kuno (lama-JAWA) jadi kunho. "Saya menduga, bahasa Using itu juga ada keterkaitan dengan bahasa Bali yang terlihat dari adanya kata yang memiliki arti yang sama," kata Hasan.

Bahasa minang apakah juga dialek.....? 
Seperti juga kita ketahui bahasa minang.. secara keseluruhan  adalah bhs indonesia yg banyak di rubah.baik disingkat ataupun ditambahi. ....apakah bisa juga disebut dialek minang????
coba kita bandingkan dengan  bahasa minang,jambi,palemban yang juga rata-rata hampir sama dengan bahasa melayu. bhs minang  pada dasarnya adalah bahsa melayu. hanya disisipi akhiran2 tertentu .misal kambing= kambiang, kucing = kuciang,goreng = goreang....dan masih banyak lagi kata2 yang berubah pengucapan2 karena penyingkatan atau penambahan akhiran2 tertentu....berbeda  dengan bahasa osing yang dominan adalah kata kata lain yang tidak termasuk dalam bahasa jawa kebanyakan.... .disini  seharusnya bisa dijadikan reverensi /pedoman untuk menilai sejauh mana dialek secara umum .

kelendi kang.................

Seblang


Sebuah kesenian tari arkais yang
sarat akan kekuatan metafisic. Hanya dengan kekuatan supranatural, seorang perempuan menjadi in-trance dan menari melenggak-lenggok mengikuti gamelan serta koor yang berkumandang. Benarkah kesenian tari yang digerakkan oleh kekuatan roh halus itu merupakan cikal bakal gandrung ? Mengapa kandidat penari seblangnya menolak untuk menari ? Sebuah catatan dari pertunjukan Seblang tahun 1993 di Banyuwangi.
Oleh : Elvin Hendratha *)

Upacara kesenian ritual Seblang adalah salah satu bentuk tradisi tari sakral yang bermotivaskan agraris sprtual. Bertujuan untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan tanah atau mengusir penyakit. Dengan mengadakan Seblang, masyarakat setempat akan terhindar dari malapetaka.

Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau. Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi, sekarang penyelenggaranya hanya terdapat di 2 (dua) tempat : Kelurahan Bakungan dan di Desa Olehsari. Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui wadag seorang perempuan.

Upacara Seblang biasa dilakukan di pedesaan, konon pada abad ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang bangsawan Blambangan yang bernama LOKENTO. Tetapi Seblang yang dilakukan di Pendopo Kadipaten dan dikenal orang dengan nama "Seblang Lokento" itu kini telah musnah.

Menurut catatan di buku historis di Desa Olehsari, Seblang pernah tidak diselenggarakan antara tahun 1943 s/d 1956. Bagi masyarakat Olehsari ketiadaan acara Seblang seperti merasa kehilangan sesuatu. Pageblug terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit terhadap ternak dan manusia tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara tersebut dimulai lagi. Konon suasana jadi pulih.

Isyu klasik tentang terseoknya dana panitia disetiap tahun penyelengaraan, masih saja selalu berhembus. Hasil penjualan Kembang Dirmo, pendapatan jasa parkir, tampaknya kurang mengcover cost yang dikeluarkan. Hanya karena dilambari rasa tanggung jawab kepada leluhur mereka, maka tiap tahunnya penduduk bahu-membahu mengupayakan terselengaranya acara ini. Akankah Seblang akan bernasib sama dengan Seblang Lokento ?

Menonton Seblang di Olehsari

Masih dalam suasana Lebaran, di Desa Olehsari (sekitar 5 km sebelah barat Kota Banyuwangi) diselengarakan acara adat tahunan Seblang. sebenarnya tak begitu sulit mencari lokasi karena arena, karena dari kejauhan sudah terdengar musik gamelan yang "ngelangut' sekakan-akan memanggil siapa saja untuk datang.

Walaupun siang itu cukup terik, disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan mengikuti acara Seblang. Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu dibuka jalur yang disediakan untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga disediakan kursi-kursi kosong. Siapapun tak berani menginjak jalur atau menduduki kursi tersebut, karena untuk tamu-tamu gaib.

Di pusat upacara tampak sebuah tonggak berupa tongkat panjang yang ditempel batang tebu segar. Disisi tonggak tertanam kokoh sebuah Payung Agung. Selain berfungsi sebagai sebagai tempat Pemain Musik, sepertinya juga merupakan ekspresi Yoni, yaitu sentral kegiatan upacara yang bersifat metafisic tersebut.

Di sebelah barat, tak kurang 8 (delapan) orang wanita setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden) duduk di sebuah gubuk tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang. Pada gubuk yang beratapkan daun nyiur tersebut, bergelantungan puluhan buah-buahan dan Poro-Bungkil (hasil bumi) yang merupakan simbolis kemakmuran desa.
Tak lama muncullah seorang gadis yang berpakaian aneh. Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda dituntun oleh seorang wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang menuju ke pusat kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari seblang itu pelan-pelan dituntun dan didudukkan di dekat "prapen" empat asap kemenyan mengepul...

Seorang dukun atau pawang paling tua, Mbah Asnan (70 tahun), tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas pedupaan seraya berkomat-kamit mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil tersebut disorongkan ke arah Salwati. Saat Salwati menerima Nyiru itu, seketika itu iapun terkulai lemas tak sadarkan diri.

Diiringi oleh para pawang sebanyak 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) pria dan 2 (dua) wanita kesemuanya berusia lanjut. Salwati menjadi 'kejimen' (baca : in-trance) dan menari gontai dengan indahnya. Terdengar mengalun gending pembuka 'Seblang Lokento' Salwati terus menari mengelilingi arena yang luasnya 7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung. "Seblang yo Lokento sing dadi encakono ..."  berulang-ulang dinyanyikan oleh para pesinden dengan antusias penuh riang.

Dengan mata terpejam,penari seblang sesekali seperti mengajak bercanda para penonton dengan mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika itu pula penonton memberi semangat dengan seloroh-seloroh bernada canda.Sang penaripun menyambut canda manis itu dengan goyangan pinggulnya yang indah.

Disaat rombongan koor mendendangkan tembang 'Kembang Dirmo' saat itu pula susunan bunga-bungaan aneka warna yang terdiri dari 5 (lima)sampai 7 (tujuh) kembang yang disusun dalam tusukan lidi mirip sate, dijajakan kepada penonton. Maka berebutlah para muda mudi membelinya. Karena kabarnya cukup bertuah untuk urusan cinta asmara.Adegan lain yang juga tak kurang menarik adalah atraksi 'Ngibing'. Ini terjadi di hari ketiga dan seterusnya dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari seblang oleh para pawang tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah meja yang tersedia,sehingga tampak lebih tinggi dari penonton.  Mendadak penari tersebut melemparkan sampur ke arah penonton. Siapa saja yang tertimpa selendang (biasanya laki-laki), haruslah bersedia menari bersama dengan sang penari Seblang. Pada acara yang cukup atraktif tersebut, begitu seseorang selesai 'ngibing' dengan penari Seblang, maka dliemparlah berulang kepada yang lain. Sehingga berkesan bergiliran.

Anehnya saat senja turun, terjadi adegan yang cukup mengharukan hati. Penari Seblang tampak memperlihatakan kegirangannya tatkala gending "Chondro Dewi" dinyanyikan. Dengan suka citanya, penari Seblang mencapai puncak orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi kelelahan dan kemudian terkulai pingsan ....

Tetapi ajaib, begitu lagu "Erang-erang" berkumandang, secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan membangkitkan kembali sang penari dari pingsannya. Mnurut beberapa sumber, membangkitkan kembali dari pingsannya adalah pekerjaan sulit bagi "Pengutuk" (pawang) yang merupakan mediator dengan mahluk halus tersebut. Hrus dilakukan extra hati-hati, karena merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Khabarnya jika tidak berhasil maka sang penari bisa kehilangan nyawa.

Akhirnya ketika Matahari nyaris lenyap di balik Pegunungan Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi : "Sampun Mbah Ktut sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh". Artinya kurang lebih demikian : "Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah berakhir, pengunjung sudah akan pulang". Begitu usai diulang-ulang sebayak 10 (sepuluh) kali, sang penari Seblang tampak sadar kembali layaknya orang bangun dari tidurnya. Terbersit raut kebingungan di rona penari. Sesekali ia mnyingkap rumbai-rumbai daun yang menatap wajahnya, Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya ia harus bertugas menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.

Menonton Seblang di Olehsari tahun ini, ada satu hal yang sangat menarik. Seperti diketahui, prosesi penunjukkan kandidat penari Seblang juga tak luput dari aspek kekuatan supranatural. Setiap bulan puasa menjelang hari raya Lebaran, gergiliran salah satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia 30 (tiga puluh) tahun ketas kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang diluar kesadarannya menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu berarti Wiwin adalah anak perawan yang tiba bergiliran menjadi penari Seblang tahun ini.

Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang ditunjuk oleh Roh Halus sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia. Mengapa sampai demikian ? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ? Seorang pemuda yang saya temui di arena pertunjukkan mengatakan : "Wiwin, heng oleh ambi sir-siranek !!". "Wiwin tidak boleh (menari) sama pacarnya" demikian ujarnya sambil menikmati pertunjukan Seblang.

Semenjak dahulu, penari Seblang selalu memiliki garis keturunan dengan penari-penari Seblang sebelumnya. Sehingga, karena warga takut dengan batalnya acara sakral tersebut, Salwati (yang masih bersaudara dengan Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh kesadaran Salwati akhirnya bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidak sediaan WIwin sebagai penari tahun ini, seorang tetua mengatakan : "Kadung ono paran-paran, ison heng ero jawanek !!"   Artinya : "Jika ternyata terjadi sesuatu, saya tidak tahu menahu !!' Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin mengalami "Stress dan depresi yang aneh".

Perbedaan dengan Seblang di Bakungan

Secara awam jika kita perhatikan sepintas, prosesi penyelenggaraan Seblang di Bakungan tidaklah jauh berbeda dengan di Olehsari. Meskipun jelas banyak sekali terdapat perbedaan jika kita tinjau lebih mendalam.

Di Bakungan persiapan Seblang dimulai dengan mempersiapkan sesaji dan membersihkan benda-benda pusaka di "Balai Tajuk". Disusul dengan pawai obor "Ider bumi" dengan mengumandangkan Adzan, Istigfar dan doa Qunut. Tak ketinggalan "selamatan kampung" dengan sajian berupa Nasi Putih dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa dengan sayuran terung, pakis dan kacang panjang yang tidak boleh dipotong-potong.

Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum'at pertama bulan Haji (Besar).

Penunjukkan Siapa bakal penari Seblang di Kelurahan Bakungan dilakukan atas dasar 'wisik gaib' yang diterima Sang Pawang, bukan lewat seorang ibu setengah baya yang kesurupan sepertihalnya di Desa Olehsari. Dan penari Seblang di Bakungan dilakukan oleh seorang janda tua, bukan seorang anak perawan yang baru akil balik.

Beberapa hal yang berbeda lagi antara keduanya adalah mengenai "Omprok" (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan Bakungan, Omprok penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan di Desa Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab bahannya terbuat dari daun pisang yang cepat layu.

Sedangkan untuk instrumen musik pendukung pada Seblang Bakungan menggunakan perangkat Gamelan Jawa laras Selendro dan terkadang ditambahkan Biola. namun berlainan dengan di Olehsari yang mempergunakan 'Instrumen banyuwangi' yamg terdiri dari : Kendang, Gong, Peking, Slenthem dan Biola.

Kemudian karena penari Seblang di Bakungan menari dengan membawa keris yang terhunus, sehingga di acara penutup terdapat prosesi "Manjer Keling" yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua Keris yang dipegangnya. Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.

Gandrung Banyuwangi
Sampai sekarang orang masih mempertanyakan, apakah Seblang merupakan cikal bakal kesenian Banyuwangi yang bernama Gandrung ? Awalnya penari Gandrung, bukanlah seorang  perempuan. Dahulu Gandrung ditarikan oleh laki-laki, orang menyebutnya Gandrung Lanang. Pada perkembangannya di sekitar tahun 1890, di desa Cungking muncullah penari seblang yang bernama Semi. Nadar Mak Midah, ibu Semi, untuk menjadikannya anaknya penari Seblang apabila sembuh dari sakitnya, justru menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan kesenian Banyuwangi. Semi yang semula tidak mengenal tari menjadi bisa menari dengan begitu bagusnya ketika kemasukan Roh Gaib.

Pada perkembangannya Semi menari keliling kampung dan desa dengan iringan Gambang dan Kendang. Seblangan semi menjadi terkenal dan begitu populer . Semi menjadi primadona mengalahkan Gandrung Lanang. Sehingga terlahirlah bentuk kesenian Gandrung Banyuwangi. Kelak Gandrung Banyuwangi tersebut merupakan sumber inspirasi gerak tari bagi para pencipta tari.

Mengamati secara cermat adanya relasi pada kedua jenis kesenian tersebut, akan semakin jelas dari aspek gending dan gerakannya. Gending-gending yang dibawakan pada kesenian Seblang pada dasarnya adalah puisi etnik yang satrat akan amanat. Seperti gending "Podo Nonton", pada puisi yang berbentuk metafora itu pengarang mencoba bercerita tentang kekejaman culture stelsel atau tanam paksanya kolonial Belanda(perhatikan lampiran syair gending Podo Nonton. Atau seperti halnya gending "Layar-layar Kemendung" yang merupakan potret perjuangan perang gerilya di sekitar tahun 1776. Sebagian besar gending-gending yang dinyanyikan d kesenian Seblang, juga dinyanyikan pada kesenian Gandrung Banyuwangi utamanya untuk paket Klasik. Gending : Kembang Pepe,  Cengkir Gading, Sekar Jenang, atau Chondro Dewi pada kesenian Seblang, masih saja dinyanyikan juga oleh Gandrung-Gandrung hingga sekarang. Terlebih apabila kita perhatikan gaya dasar Tari Gandrung Banyuwangi adalah gerakan Tari Seblang yang telah dibungkus dengan erotisasi dan penonjolan sex apple. Sebuah dekadensi dari tuntutan berkesenian.

Akhirnya mungkin masih banyak yang memperdebatkannya, tetapi lyang ebih penting  bahwasannya eksistensi Seblang (dan Gandrung) merupakan salah satu kekayaan keragaman seni tari di persada Nusantara yang tak ternilai harganya....(Elv)


==============================================

Podo Nonton

Podo nonton, pudak sempal ring lelurungYa, pendite pudak sempal, lambeyane para putraPara putra, kejalan ring kedung LewungYa, jalang jala sutra, tampange tampang kencana
Kembang Menur, melik-melik ring bebenturYa, sun siram alum, sun petik nyirat atiLare angon, gumuk iku paculanaTandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan
Kembang Gadung, sak bulung ditawa sewuNora murah nora larang, kang nowo wong adol kembang
Wong adol kembang sun barisno ring Temenggungan
Sun iring Payung Agung, labeyane mebat manyun
Kembang Abang, selebrang tiba ring kasurMbah Teji balenana, sun enteni ning pasebanPaseban Agung, kidemang mangan nginumSleregan wong ngunus keris, gendam gendis kurang abyur

Terjemahannya :

Semua Menyaksikan
Semua menyaksikan, tubuh yang bergelimpangan di jalan
Tubuh yang bersabuk emas, pertanda mereka adalah putra-putri
Putra-putri yang tertipu di kelokan air
Ya, tertipu pada sebuah jala dari sutera yang bertatahkan Kencana

Bunga Melati, indah menawan di sudut halaman
Kusiram layu, kupetik menyentuh hati
Wahai anak gembala cangkul bukit itu
Tanamlah kacang panjang, seuntai seharga anak perawan

Bunga yang memabukkan, sekuntum ditawar seribu
Tiada murah, tiada mahal, telh ditawar penjaja bunga
Penjaja bunga, kujajarkan di Temenggungan
Kuiringi Payung Agung, melambaikan keagungan

Kembang merah, indah di petilaman
Ingatlah semangat Mbah Teji, kutunggu di depan sekali
Di Pendapa Agung, para penguasa makan dan minum
Gemerincing senjata (keris) dihunus, laksana gula jawa yang mencair

sumber:
http://ravindata.multiply.com/journal/item/136

Sejarah singkat Suku Using


Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.

wikipedia

Bahasa osing


Sebutan OSING sebenarnya berasal dari orang luar Banyuwangi (orang kulonan) terhadap kultur etnik Banyuwangi. Secara etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata ’TIDAK’ dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata OSING bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap penduduk pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan penduduk asli Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.

Keterasingan yang disebabkan secara geografis Banyuwangi memang agak terisolasi, yaitu tertutup oleh pegunungan Ijen dan raung di sebelah utara, Selat Bali disebelah timur, dan Pesisir Selatan Pantai Selatan di sebelah selatan. Dalam perkembanga jaman, perubahan struktur komponen masyarakat Osing berubah. Banyuwangi tidak lagi introvert terhadap penduduk pendatang. Mereka lebih membuka diri dan merasa ditantang untuk mengadakan perbaikan ekonomi atau pengetahuan, dengan jalan merantau ke kota-kota lain. Struktur komponen masyarakat pendatangpun bertambah dan menjadikan lapisan masyarakat Banyuwangi asli berkurang. Padahal kenyataannya masyarakat pendatang umumnya enggan belajar Bahasa Osing. Penyebabnya adalah penduduk pendatang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat berbahasa Osing dengan lancar, terutama dalam hal aksen serta ketepatan mengartikulasikan kosa kata.

Ada pemeo yang berkembang di kalangan generasi muda, bahwa Bahasa Banyuwangi dianggap ’ndeso’ bila dibandingkan dengan ’Bahasa Jakarte’. Meraka merasa lebih bangga bila dapat berkata : ’Ehhh jumpe lagi ama gue, bang...!!!’ daripada harus berkata : ’Ehhh kecaruk maning ambi ison, kang ...!!!’

Sungguh tidak mengherankan bila kemudian banyak para Budayawan Banyuwangi mengkawatirkan akan eksistensinya. Sangat beralasan, karena hanya ada sekitar 53% yang merupakan penutur aktif Bahasa Osing. Hanya ada 10 (sepuluh) kecamatan di Banyuwangi yang penduduknya dominan bertutur dengan Bahasa Osing. Antara lain : Rogojampi, Giri, Genteng, Cluring, Songgon, Kabat, Srono dan Singgonjuruh. Sembilan kecamatan lainnya mulai terimbas Bahasa Jawa, Madura, atau Indonesia. Bahkan menurut Hasan Ali (bapak dari Emillia Contessa, seorang budayawan daerah), dari 175 desa di Banyuwangi (termasuk desa pemakai Bahasa Campuran Osing Jawa atau Osing Madura), hanya 126 yang berbahasa Osing.

Penyusutan pemakai Bahasa Osing salah satunya disebabkan larena bahas tersebut sangat egaliter. Maksudnya dalam Bahasa Osing tidak mengenal ’unggah-ungguhing basa’ atau ’kromo’, padahal kenyataannya kelas-kelas sosial yang baru mulai terbentuk. Bahasa dan Orang Osing tidak mengenal hirarki atau status sosial. Kata ganti milik, kosa kata, atau kata panggilan untuk orang ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya kendati berbeda status sosial. Ini menyebabkan beberapa orang Banyuwangi berusaha memperbaiki tutur kata bahasa Osing menjadi lebih halus, yaitu dengan mencampur-adukkan dengan Bahasa Jawa Halus untuk kesempatan-kesempatan tertentu yang bersifat formal.

Penggunaan Bahasa Osing untuk percakapan ’ragam tinggi’ pada penggunaan keagamaan, pendidikan dan hubungan formal hanya sedikit dibandingkan dengan ragam rendah. Maksudnya untuk pergaulan yang dianggap memerlukan ’kesopanan’ dan ’unggah-ungguhing basa’ Orang Osing lebih menyukai memakai Bahasa jawa. Sedangkan di lingkungan keluarga campuran, Bahasa jawa dan Bahasa Indonesia lebih banyak digemari.

Sementara disisi lain, bertahun-tahun para akademisi bahasa dan sastra daerah terjebak pada dikotomi : Apakah Bahasa Osing sekedar ragam dialek Bahasa Jawa ataukah bahasa tersendiri. Secara berkelakar seorang dosen saya (Kusnadi) pernah berpendapat bahwa : Sepanjang Bahasa Osing itu masih bisa dipahami oleh orang Jawa, maka tetap saja diklasifikasikan sebagai ’ DIALEK’ bukan ’BAHASA’. Secara guyonan pula saya timpali dengan berpandangan etnik, tentang adanya proses akulturasi budaya serta adanya persamaan sumber bahasa (Bahasa jawa Kuno) seraya saya komparasikan dengan Bahasa negeri Jiran yang mempunyai sumber yang sama dengan Bahasa Nasional kita, Bahasa Melayu. Bahkan saya mencoba membandingkan antara Bahasa Jawa Kuna dengan Bahasa Sansekerta, mengapa Bahasa Sansekerta tidak dikatakan sebagai Bahasa Jawa Kuna dialek Sansekerta ? Anehnya, pada Suku Tengger di Probolinggo mempunyai ’Jalur Budaya’ yang sama dengan masyarakat Banyuwangi. Ada beberapa kosa kata yang serupa dengan Bahasa Osing (Banyuwangi), sepertihalnya kata-2 : ’paran’, ’siro’, (sira, jika di Tengger), dan Isun. Namun ragam sosial tengger lebih tampak bila dibandingkan Bhasa Osing. Seperti isalnya Ragam Sosial Jenis Kelamin. Untuk kata ganti orang I, di Banyuwngi tidak dibedakan sebagaimana di Tengger. Ison (nison) artinya ’saya’ untuk wanita, dan reyang (eyang) artinya ’saya’ untuk laki-2 apabila di Tengger. Keduanya berfungsi sebagai subyek atau kata ganti milik. Tetapi berbeda di Banyuwangi, Ison tidak mengenal perbedaan baik laki-laki atau perempuan.

Untuk menjawabnya memang perlu adanya prespektif yang lebih luas, tidak saja hanya berkutat pada leksikologi, fonologi, morfologi, sitaksis, atau semantik saja tetapi perlu juga pendekatan-2 lainnya seperti historis, psycologis atau politis. Walaupun menurut saya tidak terlalu penting status kebahasaaan tersebut, karena ada yang lebih penting lagi dari itu yaitu : kelestariannya !!.

Sepertinya Bahasa Osing mulai diajarkan di sekolah2 dan telah memiliki Tata Bahasa dan Kamus Bahasa Osing, tapi apalah artinya bila dalam pergaulan sehari2 masih saja enggan untuk memakainya. Padahal menurut penelitian dahulu kala pada tahun 1930-an, penduduk beberapa desa seperti Biting dan Gemiri di Jember, Blendungan di Bondowoso serta Paiton di Situbondo diketahui juga sebagai penutur Bahasa Osing yang berdiam di luar wilayah Banyuwangi.

Yang jelas Serat budaya penyangga anyaman kebudayaan akan meruyak dan tidak berfungsi menjadi pengikat kesatuan kebudayaan, bila masyarakatnya tidak lagi dapat menjaga, merawat dan melestarikannya.

Kelendi Kang ?

sumber : http://ravindata.multiply.com/journal/item/135

written by Elvin Hendratha


KAMUS BOSO OSING

Oleh : Rofiklaross /Ki kuda kedhapan
A
Apalagi : paran maning
Acap kali : paceke,angger
Alasan : Anggul-anggul
Ada : ono,onok
Ada apa : ono paran
Adu : bombong
Agar supaya : myakne, Myane
Air : byanyu
Air meluap( deras ): Belabur
Akan : Nak
Aku : Isun, sun, hun
Akrab/kenal : Wawuh
Akar : Odod
Ajaran : Wuruk
Ambil : ampet, juwut
Ampas kopi : Gedhoh
Amuk : Imuk
Anak/pemuda : lare
Apa adanya : Sak majase
Anak laki-laki : thulik, lik
Anak perempuan : jebeng, beng
Anak yg blm tahu apa2/hijau : lare buru sore
Ancam : ancas
Anda : riko
Anda yg di hormati :ndiko
Andai : mungguo,Anggone
Alot : Waled
Apa : paran
B
Bambu : Jajang
Basah : kepos
Babi hutan : Celeng
Basah kuyup : Kelumus
Bablas : larad
Balapan : Gyalapan
Bakar-bakaran : Opor-oporan
Bagusan : anguryan
Bagusan : Banguryan
Bagaimana : kelendhi (kelendhay jika dibelakang kalimat)
Bantah : talar, nalar
Bapak : bapak (byapak)
Baru tumbuh : Merujuk
Bau badan yg tak sedap : Beledhus
Berenang : Ngeloyong
Bersinar : Mencorot,mencirat
Berlari : Melayu/melayau
Bertunas : Meltik
Bertunas : Merujuk
Berdesak-desakan : Wel- welan
Besar tinggi :Junggrang,jungglang
Biar : makne,myane
Biarkan : genengno
Bermain : memengan .
Berputar kencang sekali : Lenged
Berputar2 lepas kendali : Ngontreng
Bening : Kening
Bibi : Bik
Bedug : Jedhor
Begini : gedigi (gedigai)
Begitu : gedigu (gedigau)
Berani sekali : angas
Berat :abot
Berkilauan/bercahaya : MUbyar
Berani : wanen
Besar : Gedhig
Betul-betul : Seru
Beranian : wanenan
Bandel : Mbenu/mbenau
Bandel /ngeyel : Cengkal
Belepotan dimulutnya : gujreh.
Berhenti : ngempos
Berhubung : sarehne
Betah : pernah
Bekas : Pecak
Betis : Kempol
Bikin betah : mernahi
Bicara/marah : celathu (untuk perempuan)
Blambangan : blambyangan
Bohong : gubab (gubyab)
Bolos : lencur, melencur
Bubungan : wuwunyan
Buka sedikit : mingis
Buka lebar-lebar : Jemblang
Bukalah; Jemblangen (bukalah pintunya = Jemblangen lawangek)
Bulan : ulan (baca ulyan)
Bunga : kembang (kembyang)
Bodoh : bongol/goblog
Bodoh sekali : lengek
Bodoh sekali : belog
Bodoh dan pelupa : Dongong
Bukakan : Engekno
Buka : Bliyak
Buang : Buyang
Bungkus nasi/kue yg menggunakan daun pisang ; Ethuk
Bukit : Puthuk
Buah kelapa yg masih sangat muda : Cengkir
Buru-buru/tergopoh-gopoh : Gopoh
Busyett : Cerret
Busyeet : Nagud ( Busyet dah = Nagud oro… )
Busyet : Byalakk ( Busyet dah = Byalak aw……. }
Busyet : borrok ( busyet dah = Borrok oro weh….)
Busyet : Celleng oro ( Kasar )
C
Cari : golek golet.
Carikan : golekeno, golekaken
Cepat : gancang (gyancang)
Ceria : gromyoh
Ceroboh : ampah
Cekung/menjorok kedalam : DEkok
Cekung kebawah/berubah bentuk : Jelekong
Celingukan : Perdang-perding
Cemburu : Cupar
Cigukan : Sigunen
Cium : ambung
Mencium: Ngambung
Cincin : gelang alit
Cinta : demen
Ciduk sayur : Erus
Coba : abero
Coba : Aruo
Coba : Acake
Contoh : Tulodho
Condong : Doyong
Cuma : mung
D
Dari pada : ketimbyang, Timbyangeno
Dibiarkan : digenengaken
Dekat : parek
Di bohongi : Di apeni
Depak,sepak,terjang : Ndumpak,dhupak
Dengan : ambi
Dengan : Kambi
Dengan segala upaya : takal-takalan,petakalan
Di : ring, nong
Di marahi : Di uwel
Dibawa : digowo
Dibawa dan terseret : Diterak
Diseret : diered
Di bawah tempat tidur : Longan
Dimasukkan ke air : Nclob
Dia : yane
Dulu(waktu) : bengen
Dulu sekali : Wingek
Duluan : sulung ( baca solong)
E
Entah : embuh
Enakan : alung
Encer : Ancang
Enggan : sungkan
Empedu : Amperu (MUtah amperu; mutah sampai terasa di empedu)
Ekor terpotong : Bukung
F
Fasih /jelas : Kecoh
G
Galah panjang : Ganjur
Galah : Sengget
Ganti : Genten
Gantian : Gentenan
Gayamu( Sifat/tingkah) : Abete {kasar)
Garis : Garit
Gurau/merayu : gredoan
Gerah/berkeringt : ongkeb
Gempar : Ontrag
Gelap : Jumbleng
Gaya bicara yang ekspresif, dinamis, dan dramatis : Aclak
Gigih : tatak
Giat : Patheng
Guru : gurau
Gurau(canca) : muyab
Gemetar : Nderini
Gosong : Gempung
Gondrong dan kumal : Jibros
H
Hancur : Ndedek
Hadang : Bebeng
Hati2/sabar : Serantan
Hancur : Empur
Hancur : Lutrek
Hanya : Mung
Hajar : Sait
Hajar beramai-ramai : Krutugh
Hangus : Gempung
Heboh : Ruces
Hadapi : depani
Hitam : cemeng
Hitam sekali : nggelinseng
Hilang sedikit : Gothang
Hilang/ pergi : Mamut
I
Ingkar : nyulayani
Ingkar : Suloyo
Ingat : enget
Ibu : mak
Istri : rabi
Impas : pakpok
Injak : idek
Injak dg keras (sengaja) : Gejroh
Ikat : Cancang
Intip : inceng
Ingin Lagi : Kuryangen
Itulah makanya: Prandane
J
Jalan : lurung
Jalan-jalan keluar rumah : nggeledrek
Jari : driji
Jatuh : temebluk, tibok
Jatuh dari atas : Temebluk, cicir
Jatuh karena salah jalan : Keseliring
Jatuh tersandung/terpelosok: Kejiglang
Juga : Ugo, pisan
Jalan/lari kehilangan kendali dari ketinggian ; Larad
Jatuh tertelungkup : tibo kesereb
Jera : Kawus
Jemput : Papag
Jangankan : ojo papak
Jalan jalan tak menentu : ngelepek
Jalan : lurung
Berjalan (berirama) : Tayongan
Jotos : Jorong
Jotos : Sontok
Jongkok ; ngogrok
Jumpa : carok
K
Kampak : Perkul
Kamu : Siro
Kaku : Kekok
Kepeleset ; geberejed
Kalah sebelum bertanding : Nggeledeg
Kalah sebelum bertanding : Ngelencur
Kacamata : tasemak
Kakak laki2 : kang
Kakak perempuan : Mbok
Kakak yang masih kecil : kang ilik
Karena : Kerano
Kisinan : Kepilis
Karena : Polae
Kagum : kajon
Kalau : kadhung
Kalah menang urusan belakang : Kalah cacak menang cacak
Kalah menang urusan belakang :Kalah cacak menang apruo
Kakak perempuan : mbok
Kakek : kakik
Kalau : kadung, adung
Kamu : siro, iro, hiro
Kasih, sayang : welas
Kira : Tanggo ( hun tanggo riko mau nyang pasar = sy kira kamu kepasar)
Kemarin : Wingyenanek
Kenapa : apuo
Kena : Keneng
Ketakutan sekali(terkejut) : Gegeten
Ketagihan : Kuryangen
Kecil/ringan : Rencek
Kecuali : kecobo
Kepala yg berdarah : Bucur
Kebanyakan air : Kimbyang-kimbyang
Kenyang/puas sekali : Mongod-mongod
Kenyang ,sering,puas : Tuwuk
Kental : Kenthel
Keras kepala : wangkot
Kesiangan/kurang tidur : karipan
Keruh : getuh
Ketemu : kecaruk
Kena : Keneng
Keterlaluan : keseron-seron
Kebanyakan : Kejolok
Kebagian : Umyan(tdk kebagian= heng Umyan)
Ketombe : reki
Keras/alot : Atos
Kipas : ilir
Kipas-kipas : ilir-ilir
Konyol : Kenyab
Kurus : gering
Kuat : Tatag
Kuat,gagah,berotot : Pethekel
Kurus: Kenci/ai
L
Larang : Penging
Larang /marah: Uwel
Dilarang dgn marah2 : Di uwel
Letoy ,lemas : Lesuh
Lebih baik : anguryan,angur Byangur
Lagi : maning
Lama : lawas
Lama/usang : Luwas
Laris : Gyaros
Lampu : dyamar
Lampu lentera : dyamar telempek
Lelaki belum menikah : lancing
Lepas : coplok
Lengket : Jangged
Lari ketakutan = ngepret
Luas : wero/ Werok
Lubang kecil : Jelowokan
Lubang besar : Juglangan
Lunak sekali : Genjur/Nyunyur
Luka /infeksi : Borok
Lumpur : Belethok
Licin : Lunyau
Lidi : Semat
Lewat : liwyat
Lihatlah : delengen tah
Lompat : mlencung,Temencog
Lucu : lucau
M
Mampus : lodhong
Mampus kau : Lodhong iro.
masak ?(kaget) :Endane
Masak iya?( Kaget ): Using tah
Mantap sekali : Kesemek-kesemek
Mantra : sowok {ada yang putih dan hitam)
mantra untuk pertandingan : Rapuh
Mantra untk pengobatan : Sowok
Mantra untuk kejahatan : Sowok,tenung,sihir
Mantra untuk pengasihan : Santet
Mantra yg ditempatkan disuatu tempat : Pesengan(mantra dibungkus)
Marah/murka : Moring
Matikan(tiup) : Kebes
Makan : madhyang
Masak? : endyane?
Masak ? : Using tah?
Masih : magih
Mata : moto
Mendidih : gemulyak
Mempermainkan yang lebih tua : Kenyab
Meskipun : masio.ambekno
Meniti jalan agar tdk jatuh(sambil pegangan) : NGampar
Memang : Mulok
Mendingan : Aluk
Memang : Setalangan ( memang ngapain kamu disitu?=setalangan ono paran siro ring konok?)
Memasukkan sesuatu kelobang : Lodhok
Memekakkan telinga : Gumbleng
Menggairahkan : kenyes-kenyes
Menghiraukan /mengindahkan : melengon
Menjemur badan biar kering : Caring
Mengasah pisau : Ongkal
Tidak menghiraukan : heng melengon.
Menyamakan/tidak membeda-bedakan (terkesan tidak sopan)   : Bingkak
Menyebabkan mabok : Muronai
Mengapa : apuwo
Melingkar : melekintheng
Menggelikan/memuakkan : Ndol
Menginjak : Mancad
Melepaskan serangan tangan : Sait
Meletus : meledos
Merajuk : Ngambul
Merah muda : Kapuronto
Suka merajuk : Ngambulan
Merona : Mberanang
Menyusut : Kimples
Mempan : tedyas
Menyelesaikan : Mungkasai
Menyembul : Mungub
Memanggal : Puges,pugel
Membersihkan /memukul ke badan dg alat yg tdk membahayakan : Gebros
Menyebrang : Sabrang
Mati(kasar) : Bongko
Malas makan karena aromanya : Uneg-unegen
Monyet : bojog
Mulut yang ditampar : tempong
Musang : luwyak
Marah gak menentu : emok
Marah : Moreng/moring
Minyak tanah : Lengo gas
Muncrat : Meloncrot
Muntah : Melekok
Monyet : Bojog
N
Nampak : Katon
Nenek : Embyah
Nakal : Tambeng
Nakal : Mbenu/mbenau
Nanti malah : Gulakane
Nanti malah : Tuwyas
Nama : aran
Nikmat : gurih
Nikmat sekali : Enjyong
Nikmat sekali : Sokheh
Nyaman : mernahi
Nafsu sekali,semangat : Gyayab
Nutupi : Ningguli
Ketutupan : Ketinggulyan
O
Oles : boreh
Orang : lare, wong
Orang Osing : wong osing.
Orangtua : wong tuwyek
Ogah : emong/mong
P
Pacar : Sir-siran
Pacaran : Sir-siran
Pacaran : Byakalan
Paha : Pokang
Pasrah : Lilo
Pasrahkan : Lilakeno
Padahal : mongko
Panggung : Tratag
Papan :Belabag
Peras : Wejek
Paha ; Kempol
Padam : kebes
Paling-paling /mungkin : nai, nawi (nawai)
Paling : seru
Panen padi : Ngyampung
Panggilan pasaran ,Dab(jogja) , Rek (surabaya) : Laré ,Ndoh, pek, thulin (Osing)
Paman ; Man
Patah : Kuthung
Pastinya : Ukuryane
Penakut : Getap
Peyot : Desok
Peyot kebawah : Jelekong
Penampilan yg kumuh : Dywhoss
Pikiran jadi plong : penyar
Pisau : Lading
Parang : Boding
Pisang selai : Sale, gedhang goreng sabun
Pisah/pecah : Pethal
Peliharaan : rumyatan
Percaya diri : juwyari
Plan-pelan : Edheng-edheng
Perhatian : gyati
Perhatikan : ibuka’en [Ibukeno solong lare ikau = Perhatikan dulu anak itu)
Pelit : melid,Medit
Pelit sekali : Kumed
Pegangan senjata : Pesantikan
Pertama : kawitan
Penakut : Kacangan
penakut : Getap
Pegang : Candhak
PSK : senuk
Perangkap duri besar : Sunggrak.( benda2 runcing/duri yang mematikan pada perang bayu. banyak dipasang jebakan-jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak)
Pukul pakai barang yg tdk membahayakan   :   gebros
Pukul pakai kayu : Sampat (biasanya utk anak2 kecil)
Pukul pakai kayu daun kelapa : Mbongkok
Putus : Tugel, Pedhot
Putus : Suwing
Putus /Selesai : Campleng
Puas / berulang kali : Towok
Punggung : Boyokk
Pusing : munyer
R
Ranting bambu : Sangkrah
Ragu-ragu: Mang-mangen
Ramai /ricuh : Royak
Rakus : kerahang
Rakus sekali : byangsong,kerahang
Retak : Bengkah
Ribut : Gomprang
Robek : Suwek,Suwak
Rusak(wajah) : Njepopor
Rusak sampai berair : Berrek
Rusak : Lutrek, Lonyod
Rusak : Rencem
Rusak parah : Lekrekan
Rusak : Jebod
Rumah : umyah
Ruang tamu : Byalek
Ruang dapur : Pawon
S
Saja : byaen
Saja : Beloko, Belokon( digu beloko moring yahh = begitu saja marah }
Saking : serang
Salah jalan : Kebabyas
Sampai : taker
Santet : pengasihan
Sangat : kari (ditempatkan sebelum kata sifat), temenan
Sawi : sawen
Saya : ingsun,isun, hun
Sayup-sayup : lamat-lamat
Sayap : Serwiwi/ai
Sayang : eman
Sayang (cinta) : welas
Sayur : jangan
Sayur nangka : jangan tombol
Sayur dari belondo :Jangan lerobyan {belondo : sisa pengolahan sendiri minyak kelentik/kelapa)
Sedih sekali : keronto-ronto
Sebaya : Sakpantaran
Seret : Ered
Sering/ Kebiasaan : Tumyan
Sembuh : aron
Semerbak : semembrung
Sendiri : dewek
Sedang/ pas lagi : Byangete
Sering : kerep,angger
Sering : Pati
Sendirian : dewekan
Senggama : Ancik
Bersenggama : Ancik-ancikan,ondo-ondoan
Senyum : unyik,monyik
Sembunyi : singidyan
Sembunyikan : Sengidyakaken
Semoga : Mugi
Sesuai : Bera-i
Seperti ini : gedigEnan
Seperti itu : GedigOnan
Setengah gila : serepet
Siapa : sopo, hopo
Siap : Cawis
Sikap/tingkah : abed
Sikapmu : Abed iro (kasar)
Silau : Kedhapen
Sisir rambut : Garu/au
sedang menyisir rambut : Garuan
Sirsak : nongko londo
Sampai segitunya ; Mesasat.
Sudah : wis
Suka taruh barang sembarangan : tembyeler
Sobek menganga : Bongak
Sobek jadi dua : Sibrak
Sompel : guwang
Sombong : Gathak
Suara jatuh dengan tiba2 : Gemerubyas
Suara mengagetkan yg tiba2 : Gemerosak
Suka memberi : Awean
T
Tajam : Landhep
Tangga : Ondok
Tetapi : taping
Tadi : mauko
Tadi : muko
Tamak : kerahang
Tampar : tempeleng,tabyas
Tampar : tapeng
Tampar : tabyas
Tampar : Tempeleng,Tapuk
Tangkai : janjang
Tarik : anyeng
Tarik dengan paksa : Ampred
Tarik-tarikan : anyeng-anyengan
Tega : mentolo
Teriak : Berak
Ternyata : temakno.
Ternyata : Ketang
Terang sekali : Byarak
Tendang : Tanduk
Tumbang : gemerubyas
Tetapi : taping
Teriak-teriak : Berak-berak
Tempat duduk panjang/lebar ; Peloncok
Tempat duduk pendek ditanah : Jhodhogh
Terbelalak : moto walangen
Terbirit-birit : ngidit
Terkam : Terbas
Tergila-gila : keloyong-loyong
Terjun : temencog
Ternyata : temakno
Ternyata : Cumpune
Ternyata(masih) : Mandaneo
Teguh pendirian tanpa kompromi : Ladhak
Terpeleset : kebelandur
Terpelosok : kejelowok
Tergores : bered
Terlempar : Melethuk
Tergores : Bebres
Teluh : Sowok,sihir
Terlalu kering : merkingking
Terlalu : Ambek-ambekaneo
Tidak menghiraukan : heng melengon.Tersebar : semebyar
Tempat cuci tangan : Kobokan
Terserah : paran jare
Terbahak-bahak : Cekakakan
Tersenyum : monyek
Terlanjur : WEs kadhung
Tempat u/ menggiling bumbu yang terbuat dari batu : Jebeg
( Alat untuk menggiling : Canthuk
Tempat sampah umum : Lebuh
Tempat duduk pendek/dingklik : Jodog
Tersiksa : kapiliro
Terkejut dan salah tingkah : Protongan
Tersedak : Kebeselek
Teringat/termenung : Kantru-kantru
Tertawa : gemuyu
Tertawa terpingkal-pingkal : kekel
Terengah-engah : Ngonsrong
Teriak-teriak : Berak-berak
Terseret : Keli/kelai
Tertipu malu : kepeles
Tiba-tiba : Moro-moro
Tidak rata : Lebyak medekul
Tidak : osing,oseng,sing, heng,
Tidak tahu apa-apa : Bengok
Tidak apa-apa: sing paran-paran
Tidak apa-apa : Madak paran-paran
Tidak bagus(tdk semestinya) : Heng endo-endo
Tidak ada : nono, sing ono
Tidak mau : Emong.
Tidak mau dikasi tahu : Cengkal
Tidak Khas lagi : Camah
Tidak kuat : rempi
Tinggal : Kari
Tikam : Tujes
Tongkol Pisang : Ontong
Tiduran : nggelinting, gelintingan,leyek-leyek
Tuli sesaat :gumbleng/ kumpleng
Tua sekali : Nekek
Tumpul : Papak
Tiup : Semprong
Tumpul : Geblugh
Tumbang : gemerubyas
U
Uang : Picis
Uang : Yotro
Ubi kayu : Sawai
Ubi jalar : Sabrang
Untuk : kanggo
Usang : Bluwek
Usang : Luwas
Umpama : Cumpune
Ugal-ugalan : Mursal
Ular : Ulogk
Urap : Kerawu/au
Umpat/misuh : Celleng
W
Wanita : wadon
Wah! : byek!
Wah : Bebyek
Waktu : Wayah
Wajah kotor(karena baru bangun tidur ) : Korep
Wajar : Mupakat (Tdk wajar : heng mupakat}
Walau : Ambekno
Walau : Masio
Wajah : Praenan
Waspada : Amening
Y
Yang : kang, hang
Ya : yok,Iyok
Berlanjut dan terus revisi…………..
…..

Angklung Caruk


anhklung caruk
angklung caruk di Banyuwangi

Kota Banyuwangi pantas disebut kota seni, karena mempunyai banyak mahakarya seni pertunjukan yang diwariskan oleh leluhur kita, salah satunya kesenian angklung caruk. Bagi sebagian masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Osing kesenian Angklung Caruk sudah tidak asing lagi. Sekitar satu dekade yang lalu kesenian ini masih menampakkan dirinya di beberapa acara yang diselenggarakan masyarakat seperti acara perkawinan, khitanan maupun acara lain seperti perayaan hari kemerdekaan RI. Namun sekarang ini sudah sangat jarang di jumpai. Setahu saya, dilingkungan sekitar tempat tinggal saya di kecamatan Glagah yang merupakan salah satu daerah berpenduduk mayoritas Osing sudah tidak pernah lagi kesenian ini dipentaskan. Sebenarnya kesenian ini sangat unik karena mengadung unsur sportifitas antara grup satu atau “panjak”(sebutan penabuh dalam bahasa Osing) dengan grup lainnya. Sebelum berbicara lebih lanjut ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu deskripsi tentang Angklung Caruk.
Angklung Caruk merupakan salah satu dari beragam kesenian yang berkembang di Banyuwangi. Pada mulanya angklung digunakan oleh petani di sawah untuk melepas lelah disaat istirahat. Angklung diletakkan di atas sebuah pondok yang tinggi atau masyarakat menyebutnya “paglak”, sehingga disebut “angklung paglak”. Selain itu para petani juga gemar mengguunakan angklung di saat memanen sawah mereka sebagai iringan musik. Uniknya zaman dahulu seorang petani yang memanen sawah memiliki tradisi “ngersoyo” ( gotong royong), pemilik sawah yang memanen sawahnya dibantu para kerabat dan tetangga sehingga si pemilik sawah memberikan sebuah hiburan kepada orang-orang yang telah membantunya di sawahnya dengan angklung yang diletakkan di “paglak”. Biasanya penabuhnya hanya terdiri dari 2 sampai 3 orang saja. Instrumennya terdiri dari 1 angklung (yang mirip dengan angklung di Bali) dan gendang berukuran kecil. Sembari menabuh angklung penabuhnya juga menyanyikan gending-gending khas Banyuwangi. Dari sinilah angklung caruk terbentuk.
Mengapa disebut agklung caruk? “Caruk” merupakan bahasa Osing yang berarti “temu” atau  “bertemu”, sehingga angklung caruk mempunyai pengertian dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung. Dua kelompok kesenian ini  saling beradu ketangkasan dalam memainkan angklung. Pada sesi pertama pertunjukan angklung caruk diawali dengan “larasan” yaitu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang laki-laki dari masing-masing kelompok yang disebut “badut”. Mereka bargantian menari sesuai dengan kesepakatan. Kemudian di sesi selanjutnya “adol gending” yaitu misalnya kelompok A memberikan aba-aba berupa ketukan sebuah lagu Banyuwangian yang ditujukan kepada kelompok B, dan jika kelompok B tahu ketukan tersebut maka dilanjutkan ketukan tersebut hingga membetuk sebuah iringan musik dan apabila kelompok B tidak bisa atau salah ditengah perjalanan maka kelompok A mengoloknya begitu sebaliknya. Walaupun terjadi “padu-paduan” (olokan dan ejekan). Uniknya kedua kelompok dan pendukungnya saling menjaga sportifitas dan kerukunan.
Namun sungguh sangat disayangkan, di era globalisasi ini sangat jarang bahkan tidak pernah kesenian angklung caruk menampkkan diri. Sekarang masyarakat Osing lebih cenderung menyukai musik dangdut koploan. Saya sendiri sebagai generasi muda yang hidup di era ini hanya pernah menonoton kesenian angklung caruk kira-kira dua kali seumur hidup, terakhir kali menonton angklung caruk waktu saya duduk di kelas enam SD. Sangat diharapkan saya bisa melihat lagi di waktu mendatang. Sehaursnya kita selaku generasi muda harus mengenal dan ikut melestarikan  kebudayaan luhur warisan nenek moyang, begitu juga pemerintah juga harus memberikan support dan apresiasi kepada pelaku seni, semisal mengadakan festival angklung caruk setiap hari jadi Banyuwangi, sehingga kesenian ini akan tetap eksis.

Sumber : hasansentot2008.blogdetik.com

BAHASA OSING BANYUWANGI MENJADI BAHASA MULTIETNIS



Oleh Fachrur Rozi


Konon, bahasa Osing yang digunakan masyarakat Banyuwangi, sebelumnya hanya menjadi alat komunikasi bagi kaum minoritas yang tinggal di pedalaman.
Lambat laun, bahasa yang digunakan sebagian masyarakat adat osing di Desa Alien, Kecamatan Rogojampi, itu malah berkembang menjadi bahasa multietnis bagi mereka yang hidup dan tinggal di Banyuwangi, kabupaten paling timur di Jatim dan paling luas wilayahnya (lebih besar ketimbang Pulau Bali).
Artinya, bahasa Osing tidak lagi dipandang hanya untuk komunikasi suku osing, tetapi bagi mereka yang bersuku Jawa, Madura, Mataraman, dan Bali yang tinggal di "Bumi Blambangan" secara tidak langsung terpengaruh dan menggunakan bahasa itu.
Pengguna bahasa Osing aktif berada di 13 kecamatan dari 24 yang ada di Banyuwangi, yakni Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, Gambiran, Singojuruh, Licin, sebagian Genteng, serta sebagian Kota Banyuwangi.
Masing-masing desa pun mempunyai karakter berbeda dalam pengucapan kata dalam bahasa Osing. Orang Osing bisa menebak asal desa seseorang, hanya dengan mendengar intonasi pengucapan dialek Osingnya.
Warga Desa Kemiren dengan Alian berbeda pada penekanan lafal pengucapan, intonasi Kemiren cenderung singkat, tegas, dan lugas, sedangkan Alian sedikit ditarik.
Perbedaan lafal pengucapan ini tidak menjadi masalah bagi warga Banyuwangi. Mereka bisa menerima sebagai suatu bentuk keanekaragaman pemakaian Bahasa Osing dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Ketua Tim Bahasa Osing, Maskur, bahasa dan sastra Osing yang dulu lebih dikenal dengan bahasa dan sastra Blambangan, pernah mencapai kejayaanya pada abad XIV-XVIII.
Bahkan syair-syair Sri Tanjung, tokoh pejuang Banyuwangi dan Sudamala serta Sang Setyawan yang diakui sebagai puncak karya sastra aliran sastra Blambangan, telah dipahatkan di teras Pendapa Candi Penataran yang dibangun pada masa Majapahit tahun 1375.
Namun, peperangan dan kekuasaan VOC pada abad setelah itu menghentikan perkembangan bahasa dan sastra Blambangan yang kemudian berkembang hanya sebagai bahasa dan sastra lisan.
Para budayawan Banyuwangi menyadari bahasa dan sastra lisan bagaimanapun tidak akan pernah dapat diangkat sejajar dengan bahasa dan sastra tulis. Karena bahasa dan sastra lisan selalu mengalami kemungkinan kerusakan dan kepunahan dalam perkembangannya.
Itu terbukti dengan perkembangan bahasa dan sastra Osing yang lambat laun cenderung turun, seperti penelitian yang dilakukan Prof Dr Suparman Herusantoso dalam disertasinya di Universitas Indonesia pada 1987 dengan judul "Bahasa Osing di Kabupaten Banyuwangi".
Cenderung turunnya bahasa dan sastra osing juga diungkapkan oleh Prof Dr Suripan Hadi Utomo, pengajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Menurut mereka, masyarakat Banyuwangi lebih cenderung memilih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, ini lantaran bahasa Osing dianggap tidak mempunyai tingkatan tutur halus.
Di dalam bahasa Osing, kata Maksur, ada unsur pengaruh bahasa Bali. Misalnya, kosakata "sing" (tidak) dan "bojog" (monyet). Selain itu, juga dipengaruhi unsur bahasa Inggris.
Ia mencontohkan, seperti kata "sulung" yang artinya duluan, bahasa Inggris-nya "so long", dan "nagud" dari kata "no good" yang berarti jelek.
Tentunya ini menjadi pekerjaan berat bagi para budayawan untuk berupaya melestarikan, membina, mengembangkan, dan mengangkat kembali bahasa dan sastra Osing lisan sebagai sastra dan bahasa tulis, lantaran harus mengumpulkan sejumlah konsep pedoman umum ejaan bahasa baik melalui kamus, tata bahasa, pedoman umum ejan bahasa, dan sastra.
Perjalanan panjang dan melelahkan upaya menorehkan bahasa dan sastra Osing tulis diawali sejak tahun 1980, yaitu berdasar hasil kajian dan ide dari sejumlah budayawan dan peneliti bahasa. Pengumpulan konsep bahasa dan sastra tulis itu bisa rampung pada Februari 1991.
Hasil kajian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku pedoman umum ejaan dan kamus Bahasa Osing yang disusun budayawan dan pengamat bahasa Osing, Hasan Ali.
Penyusunan buku ini dilakukan secara deskriptif dan disesuaikan dengan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang disempurnakan.
Kamus Bahasa Osing itu sendiri hingga kini sudah cetakan edisi kelima, yang materinya terus disempurnakan hingga terkumpul 4.000 lebih kosakata.
Buku pedoman bahasa Osing tersebut akhirnya dijadikan pedoman, baik dalam kegiatan kebahasaan daerah sehari-hari maupun dalam kegiatan penulisan media cetak, khususnya dalam pengajaran bahasa Osing di sekolah.

Dunia Pendidikan
Setelah berhasil disadurkan dalam bentuk sastra dan bahasa tulis, upaya melestarikan bahasa itu terus dikembangkan salah satunya dengan memasukkan bahasa Osing sebagai mata pelajaran di sekolah (muatan lokal).
Gagasan itu muncul dari dorongan Bupati Purnomo Sidiq pada tahun 1994. Dia mengajukan usulan itu dalam Kongres Bahasa Jawa di Kota Batu, Jatim, dan Solo, Jateng.
Kemudian pada 1996, ditindaklanjuti dengan keluarnya surat keputusan bupati nomor 428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Osing sebagai Kurikulum Muatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi.
Awal 1997, kebijakan memasukkan bahasa Osing dalam muatan lokal itu dicoba dilakukan di tiga sekolah dasar di tiga kecamatan, Banyuwangi, Rogojampi, dan Kabat.
Ketika itu, Pemkab tidak langsung memberlakukan serempak pembelajaran bahasa Osing, lantaran sejumlah sekolah sempat menolak memasukkan bahasa Osing dalam muatan lokal, khususnya sekolah dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi.
Padahal tujuan awal program tersebut bukan berarti mewajibkan Orang Madura atau Jawa harus bisa berbahasa osing, tetapi setidaknya mereka bisa mengenal bahasa Osing Banyuwangi.
Lambat laun kebijakan ini bisa berkembang ke sekolah lainnya, ketika sedikitnya ada 10 sekolah di tiga kecamatan yang menerapkan pembelajaran bahasa Osing yang kemudian berlanjut hampir di tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah dasar yang menerapkannya.
Kemudian di era Bupati Samsul Hadi, program pengembangan pembelajaran bahasa Osing di sekolah terus berlanjut, bahkan bupati mewajibkan semua sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memasukkan bahasa Osing dalam mata pelajaran di sekolah.
Berikutnya ditindaklanjuti di era Bupati Ratna Ani Lestari dengan diterbitkannya peraturan daerah (perda) Nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar.
Ada lima materi yang diajarkan dalam pembelajaran bahasa Osing, mulai dari cara membaca, mendengarkan, menulis, sastra osing, dan berbicara.
Kebijakan memasukkan kurikulum bahasa Osing dipandang cukup berhasil di tingkat SD, kendati itu tidak dijumpai di tingkat SMP. Pasalnya, hingga kini baru 15 SMP yang menerapkan pembelajaran bahasa itu.
Menurut Sekretaris Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri, masih banyaknya sekolah yang belum menerapkan pembelajaran bahasa Osing kepada siswanya karena terkendala tidak adanya tenaga pengajar yang bisa menguasai bahasa Osing.
Selama ini, kata Basri yang juga menjadi guru bahasa Osing di SMP 1 Banyuwangi, para guru merasa dibebani dengan dimasukkanya materi pembelajaran bahasa Osing dengan berbagai alasan, mulai dari singkatnya pelatihan yang hanya membutuhkan waktu tiga hari.
Selain itu, tidak adanya guru yang lulusan dari sarjana bahasa Osing, yang ada hanya guru lulusan bahasa Jawa. Sehingga, solusinya meminta kepada guru itu untuk merangkap.
Dewan Kesenian Blambangan sempat mengusulkan adanya tambahan tunjangan jam mengajar bagi guru yang memberikan mata pelajaran bahasa Osing, namun usulan itu belum bisa terealisasi dengan alasan khawatir terkendala dampak hukum.
Kendati sudah hampir 12 tahun berjalan merambah di dunia pendidikan, belum ada terobosan untuk menyelesaikan kendala kurangnya tenaga pengajar yang khusus mengajar Bahasa Osing.
Bahkan, di era Bupati Ratna Ani Lestari perkembangan masalah itu berjalan di tempat. Kurang begitu berpihaknya Bupati Ratna terhadap pembelajaran bahasa Osing di sekolah, kata Hasan Basri, terbukti dengan dipangkasnya anggaran untuk penerbitan buku pedoman Bahasa Osing.
Berbeda dengan pemerintahan di zaman Samsul Hadi dan Purnomo Sidiq yang setiap tahunnya mengalokasikan anggaran mencapai Rp150 juta, digunakan untuk pencetakan sejumlah buku Bahasa Osing yang dibagikan kepada pengajar untuk menambah pengetahuan.
Terpaksa, kata Hasan, untuk pencetakan buku tahun ini diserahkan ke pihak ketiga CV Cahaya yang tahun ini mencetak 500 eksemplar buku Panduan Bahasa Osing yang akan dikomersilkan ke masing-masing sekolah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi Sulihtiyono mengatakan, tahun ini pihaknya telah menyiapkan pelatihan kepada sedikitnya 100 tenaga pengajar yang khusus dibekali materi pembelajaran bahasa Osing.
Mereka nanti akan ditempatkan di beberapa sekolah mulai SD hingga SMP yang membutuhkan guru bahasa Osing.
Diakuinya, masih minimnya jumlah guru mata pelajaran bahasa Osing, karena belum adanya universitas di Banyuwangi yang membuka jurusan bahasa Osing.
"Kekurangan guru Bahasa Osing ini masih 50 persen, terpaksa para guru harus merangkap tugas baik sebagai guru mata pelajaran umum juga guru bahasa Osing," ungkapnya.

Kesenian Banyuwangi
Pesatnya perkembangan bahasa Osing salah satunya karena kuatnya kesenian di Banyuwangi. Lihat saja sejumlah kekentalan tradisi adat hingga kesenian tari di Banyuwangi yang masih tetap dipertahankan.
Misalnya, Seblang Olehsari dan Bakungan, adat Kebo-keboan, tari gandrung yang semuanya gending pengiringnya menggunakan bahasa Osing.
Tidak hanya itu, sejumlah nama seniman Banyuwangi juga begitu dikenal, seperti Mohammad Arifin pencipta lagu Genjer-genjer, Hasan Ali budayawan Banyuwangi yang juga penerbit kamus Bahasa Osing, Asnan Singodimayan pemerhati budaya, dan masih banyak lainnya.
Lagu-lagu berbahasa Osing Banyuwangi pun juga banyak digemari. Hampir setiap dikeluarkannya album Osing Banyuwangi selalu laris manis di pasaran, sehingga industri musik di Banyuwangi selalu mendapat untung.
Seakan menjadi sebuah industri yang banyak meraup rupiah, hampir semua radio di Banyuwangi tidak ingin ketinggalan memberikan acara khusus berbahasa Osing, baik dalam bentuk pemutaran lagu-lagu, hingga interaktir percakapan dan pembelajaran bahasa Osing.
Seperti yang diutarakan direktur sebuah radio di Banyuwangi, I Wayan Artha, program berbahasa Osing yang dinamai patrol menjadi salah satu acara favorit yang paling digemari pendengar.
Upaya pelestarian bahasa Osing tidak hanya dituangkan dalam bentuk lagu-lagu Banyuwangi, namun pengenalan bahasa Osing juga dilakukan oleh sejumlah organisasi perkumpulan masyarakat Banyuwangi yang merantau ke luar daerah dan tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Banyuwangi (Ikawangi).
Menurut Humas Ikawangi Nurhidayat, organisasi itu merupakan induk perkumpulan dari puluhan komunitas orang Banyuwangi, mulai dari "Lare Osing" (Laros), Pemuda Banyuwangi (Pelangi), Osengbaen, Laros Jaga Tarok, Kelompok Mahasiswa Banyuwangi, Prajurit Blambangan, dan "Blambangan Family Club".
"Jika dijumlah total anggota yang tergabung dalam Ikawangi se-Jabodetabek sebanyak 12 ribu KK, belum lagi mereka yang tergabung dalam blog dan milis di internet di luar Jawa," paparnya.
Setiap kumpul bersama komunitas Ikawangi, kata Dayat Osing panggilan akrabnya, mereka selalu menggunakan bahasa Osing, bahkan banyak masyarakat luar Banyuwangi yang tertarik mempelajari bahasa itu.
Seperti halnya "Anak Betawi" dan "Arek Suroboyo", para pemuda dan orang-orang Banyuwangi punya sebutan sendiri: "Lare Osing".
Begitulah mereka menamakan dirinya. Entah itu yang bersuku Osing atau tidak, yang berbahasa Osing atau tidak, tetapi asalkan mereka bangga dan merasa punya suatu ikatan dengan Bumi Blambangan, Banyuwangi tercinta, di dalam hati mereka akan berkata, "Isun Lare Osing!" (saya pemuda osing).
(L.PSO-075*C004/B/s018/s018) 24-10-2009 16:04:16



Posted by : Arvino Zulka / (ANTARA)