Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

SEJARAH ARYA BLAMBANGAN

Catatan Rekonstruksi Sejarah Belambangan
oleh : Sumono abdul hamid

Sebuah Catan artikel yang menarik meskipun COPY & PASTE namun Artikel ini adalah artikel yang menurut saya layak untuk dijadikan baca'an setiap Orang yang mengaku ASELI OSING....


LELUHUR SAYA ,ORANG BLAMBANGAN


Sejak kecil saya telah diberitahu oleh mbak saya, ayah saya, dan Kakek Lilir seorang sepuh dari Paiton, orang “pintar” , yang menyembuhkan ketika saya sakit, bahwa leluhur orang Banyuwangi adalah orang seperti Kakek Lilir, Kakeek Latief, dan orang yang berperawakan seperti beliau,yaitu orang yang berperawakan tinggi besar , kukuh , sawo matang, berhidung mancung dan perempuannya seperti mbah wadon (nenek) ,langsing, berhidung mbangir ( mancung kecil) . Dan saya bertemu banyak orang seperti itu pada saat kecil . Laki 2nya berikat kepala yang mengarah kebawah dan perempuannya tidak lepas memakan sirih. Tidak hanya itu, ayah saya ,telah mengenalkan petilasan leluhur Banyuwangi, patung watu kebo , di halaman S.D Watu Kebo lama, Watu loso di Alasmalang, Watu Kenong ( Batu berbentuk gamelan kenong) di Paiton, Sitinggil di Muncar dan banyak tempat , yang kebanyakan berbentuk batu halus ( Dolmen?).
Oleh karena itu saya selalu menaruh minat yang besar untuk membaca dan mencatat sesuatu yang berkaitan dengan Banyuwangi.
Tetapi ketika dipentaskan Kadung dadi Gandrung, Wis, sebuah kesenian Banyuwangi (Using) di Taman Ismail Marzuki oleh bapak Dedy Luthan tahun 1970 ,saya jadi bertanya tanya, tentang leluhur orang Banyuwangi itu, karena perawakan orang Using yang diajak dalam rombongan itu sungguh berbeda dengan gambaran maupun yang saya temui pada saat kecil saya, karena perawakan mereka lebih cenderung ke Mongolid, sedang perawakan yang pernah saya temui lebih cenderung ke Arya.
Oleh karena itu saya mulai menghimpun data tentang Banyuwang, baik mengenai adat, sejarah maupun pernak perniknya.
Menyadari bahwa saya bukan ahli sejarah , saya hanya mencatat , menyimpan catatan tersebut.
Tetapi ketika saya menjadi facebooker, melihat adik2 yang begitu antusias membicarakan Banyuwangi , adat istiadat, kesenian……saya beranggapan , saya perlu mereconstruksi ingatan dan catatan saya tentang leluhur Banyuwangi.
Apalagi ada kepedihan dalam hati saya , ketika menemukan tulisan Sir Stanford Rafless dalam Hystory of Java yang menulis sbb:

From that moment , the provinces subjected to its authority, ceased to improve. Such were the effect of her desolating system that the population of the province of Banyuwangie,which 1750 is said to have amounted to upwards of 80.000, was in 1811 reduce to 8000.

Dan pada kenyataannya , perawakan orang Banyuwangi seperti yang saya temui waktu kecil , semakin menghilang dari tanah Banyuwangi.

Perang Paregreg dan Negara Kertagama membuka fakta.

Saya akan menyingkap sejarah leluhur saya (Banyuwangi) dari tulisan Prof DR Slamaet MULYANA.
Dengan jelas dan terang bpk Slamet Mulyana, sejarahwan itu , menulis tentang Perang Paregreg. Bahwa perang itu terjadi setelah Prabu Hayamwuruk wafat. Perkawinannya dengan permaisuri Dewi Sori , hanya melahirkan putri sedang dengan selir melahirkan seorang putra. yang kemudian bernama Bhre Wirabumi dan diangkat sebagai raja Majapahit Timur*)(Blambangan dan Bali?),sedang Majapahit Pusat tetap ditangan Prabu Hayamwuruk. Ketika Prabu Hayamwuruk wafat, pewarisan tahta tidak tertata dengan baik dan jatuh ke putrinya Dyah Kusumawardhani yang tidak memiliki kecakapan memerintah , maka suaminya Wikramawhardana secara perlahan dan pasti mengambil alih kekuasaan, dan kekuasaan inipun nanti diwariskan kepada putrinya Dewi Suhita. Sejak diambil alih oleh Wikramawardana, sebenarnya telah timbul masalah, apakah menantu lebih berhak dari putra dari selir, apalagi ketika mahkota diserahkan kepada putrinya Dewi Suhita padahal dasar pewarisan adalah Patrilineal…..Disamping itu Negara Kertagama mengungkap fakta lain, sejak Wikramawardana menjadi raja, kedudukan para pendeta Hindu Siwa mulai tersingkir. Seperti diketahui Wikramawardana adalah seorang penganut Budha, dan diakhir pemerintahannya malah menjadi Bhiksu. Sedangkan prabu Hayamwuruk adalah seorang Hindu Siwa dan telah dinobatkan sebagai Sang Hyang Giri Nata Bathara Siwa( perwujudan dewa Siwa di bumi) sedang Bhree Wirabumi adalah seorang Hindu Siwa yang teguh.
Perselisihan tersebut akhirnya memuncak menjadi Perang Paregreg( Perang yg terjadi berkali kali), Bhree Wirabumi tak terkalahkan, sampai akhirnya pada masa pemerintahan dewi Suhita , ratu majapahit itu mengerahkan seluruh kekuatan yang dipimpin Bhre Narapati.
Bhre Narapati tidak hanya mengalahkan Bhree Wirabumi tetapi juga memancung kepala Bhre Wirabumi.
Dengan beralihnya kekuasaan ke Dewi Suhita, dan kematian Bhre Wirabumi, sejarahwan Slamet Mulyana mencatat sebagai akhir dari wangsa Sanggramamawijaya, dan berakhir kerajaan Hindu di Jawa(Majapahit Timur atau Blambangan).
Pemancungan kepala Bhre Wirabumi oleh Narapati dianggap kesalahan besar. Dia tidak sepantasnya melakukan seperti itu, terhadap putra Sang Hyang Giri Nata Bathara Siwa atau Prabu Hayamwuruk, keturunan darah biru wangsa Sanggramawijaya, penganut dan pelindung brahmana Hindu Siwa. Maka tiga tahun kemudian Narapatipun dipancung dan jenazah Bhre Wirabhumi diagungkan kembali karena makamnya dicandikan yaitu Candi Lung.
Setelah pemancungan Bhre Wirabumi perebutan tahta dan dendam kesumat merontokkan Majapahit

Siapakah wangsa Sanggramawijaya.

Wangsa Sanggramawijaya menurut para sejarahwan adalah raja 2 yang keturunan Ken Dedes dan Ken Arok. Seperti diketahui Ken Arok merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung , seorang akuwu ( bupati) Tumapel.
Perebutan ini sepenuhnya mendapat restu dari Brahmana Hindu Siwa karena perkawinan antara Ken Dedes dan Tunggul Ametung, dianggap para brahmana Hindu Siwa, sebagai perkawinan yang tidak setara, dan merupakan pemaksaan dari Tunggul Ametung. Tunggul Ametung tidak memiliki kepantasan sedikitpun kawin dengan Ken Dedes karena kedudukan dan kastanya lebih rendah. Maka para Brahmana Hindu Siwa , memerintahkan Ken Arok, ksatrya Brahmana merebut kembali Ken Dedes dari Tunggul Ametung.
Pramudya Ananta Toer mendeskripsikan , tentang kelompok Hindu Siwa ini, sebagai ras Arya yang sangat exclusive dan menjaga keturunan dengan ketat dan teguh terhadap agamanya.

Kapan kelompok ini datang ke Jawa

Sejarahwan mencatat mereka (Arya) telah berada di Jawadwipa ( Pulau Jawa) ,sejak wangsa Sanjaya diabad ke tujuh. Malahan ada yang berpendapat wangsa Sanjaya , sebenarnya berasal dari Jambudwipa ( India).Mereka adalah pembangun atau setidaknya terlibat secara langsung dengan pendirian candi Prambanan(Hindu Siwa) dan candi Borobudur.( Budha) .
Ada sejarahwan yang berpendapat semula candi Borobudurpun dipersiapkan sebagai candi Hindu Siwa, seperti terlihat bentuk pada bangunan dasar dan konsep kontruksinya, tetapi karena wangsa Sanjaya (Hindu Siwa) kalah dengan wangsa Syailendra (Budha Mahayana) , maka candi Borobudur diteruskan sebagai candi Budha.
Maka kelompok ini dengan jelas keberadaaannya terlacak mulai dari wangsa Sanjaya,Syaelendra, Singhasari, Majapahit , Blambangan dan Bali

Bagaimana nasib kelompok Arya (Hindu Siwa ) di Blambangan ,setelah perang Paregreg

Setelah perang Paregreg , dengan sendirinya tamatlah kerajaan Hindu Siwa di Jawa. Dan seperti dicatat oleh Negara Kertagama , karena perlakuan yang tidak pantas raja 2 sesudah Hayamwuruk, terhadap Brahmana dan penganut Hindu Siwa maka mereka sebagian exodus ke Bali.
Meskipun begitu kerajaan Blambangan masih mampu menghadang expansi kerajaan Demak Islam, dan mengalahkan pasukan Demak di Penarukan, karena dalam pertempuran itu Sultan Tranggono gugur . Oleh karena itu peranan Blambangan dalam menjaga existensi Bali sangat besar .
Maka pantas kiranya pendiri kerajaan Mengwi( dari Bali Selatan),I Gusti Agung Anak Agung mengangkat dirinya dengan gelar kebesaran Tjokorde Sakti Blambangan . Beliau tidak saja mencantumkan Blambangan sebagai namanya tetapi juga membangun Pura Paibon ( yaitu Pura yang diperuntukan untuk ibu suri) yang dikenal sekarang sebagai Taman Ayun.
Para sejarahwan menganggap taman ini lebih bernuansa Jawa Kuno ( Hindu Siwa Jawa) daripada Hindu Siwa Bali , Pura ditempat itu tidak menghadap ke Gunung Agung dan lebih dari itu ditaman ini terdapat 64 tugu leluhur ( batu dengan permukaan halus atau Dolmen yang mirip dengan watu loso,yang ada di daerah Rogojampi ke barat).
Dengan itu saya agak ragu mengatakan bahwa kerajaan Mengwi menguasai Blambangan tetapi .mungkin ada istilah yang lebih tepat.atau barangkali sebenarnya Mengwi adalah peralihan kerajaan Majapahit Timur /Blambangan ke Bali. Ini terbukti dengan keterlibatan Mengwi mengusir penjajah Belanda dari Bumi Blambangan sangat jelas dan intens.
Wong Agung Wilis yang menjadi adipati dan panglima perang di Blambangan dididik dan dibesarkan di kerajaan Mengwi. dan mendapat dukungan penuh dari kerajaan Mengwi ,sehingga mampu mengerahkan 4000 pasukan yang terdiri pasukan Blambangan, Bali , China,dan Bugis dalam satu perang frontal yang amat dahsyat yang kemudian kita kenal Perang Puputan Bayu.
Berakhirnya perang Puputan Bayu,berakibat fatal pada kelompkok Arya di Blambangan juga bagi kerajaan Mengwi di Bali.
Setelah perang Puputan Bayu pemusnahan orang Arya di Blambangan ( Banyuwangi)) dilakukan secara sistematis , Sir Stanfford Raffles dalam buku terkenalnya : History Of Java “ menulis
From that moment , the provinces subjected to its authority, ceased to improve. Such were the effect of her desolating system that the population of the province of Banyuwangie,which 1750 is said to have amounted to upwards of 80.000, was in 1811 reduce to 8000.
Sebuah survey demographie setelah perang Puputan Bayu menjadi bukti tulisan Sir Stanford Raffles tsb Blambangan hanya memiliki 120 sampai 130 kampung asli,dan tiap kampong hanya dihuni paling banyak 35 keluarga, malahan ada kampong yang tidak berpenghuni ( antara lain Tabanan).
Desolating system yang dilakukan Belanda sendiri, maupun Penguasa Local (boneka Belanda) terhadap kelompok Arya Blambangan pada saat itu sungguh mengerikan,mulai dari kerja rodi, membentuk persepsi yang jelek melalui cerita Menakjinggo Damarwulan ( Serat Kanda, serat Blambangan, Serat Damarmulan) sampai perlakuan yang sadis terhadap para ksatrya Arya Blambangan( ada novel yang menceritakan masalah ini).Akibat tindakan ini selain jumlah populasi yang menyusut drastis juga berakibat populasi perempuan kelompok Arya Blambangan lebih banyak dari kelompok laki laki.
Pemerintahan Sir Stanford Raflles 1811 sd1816,( ada bukti lain sebenarnya Inggris tetap menguasai Bengkulu dan Banyuwangi sampai Raffles menguasai Singapore yaitu 1819) memberi sedikit bernafas lega kelompok ini. Pembangunan mulai digerakkan , para pendatang dari segala suku dan bangsa berdatangan ke Banyuwangi. Maka terjadilah perkawinan campuran gadis Arya Blambangan yang cantik dengan para pendatang, demikian pula para prianya.
Tidak heran jumlah mereka yang asli semakin mengecil, dan penulis hanya menjumpai mereka yang sudah tua pada tahun 1950an. Mungkin zaman revolusi dan kemerdekaan telah mematahkan exclusive mereka , dan mereka sekarang malah menjadi pluralis kawin dengan suku Nusantara maupun dengan suku bangsa lainnya.

Kesimpulan
Itulah leluhur kita orang Banyuwangi, ras Arya yang telah menempuh perjalanan panjang dibumi Jawadwipa Sebagian telah pindah ke Bali, sebagian terbunuh dalam Perang Puputan Bayu, dan lebih banyak lagi yang mati karena desolating system Belanda Sebagian masih tinggal di Banyuwangi ,dalam jumlah kecil danterpencar dalam diam dan sunyi dan kemudian kawin dengan para pendatang. Saya pernah menggapai tangannya dan berada dalam pangkuannya…Kakek Lilir , kakekek Latief , dan orang yang berudeng batik yang menjurai kebawah, tubuh kekar , kulit sawo matang, mata tajam , hidung agak mancung dan perempuan yang langsing , hidung bangir, warna kulit lebih cerah, dengan peninggalan watu loso, watu kebo, watu kenong …..Meninggalkan exclusivenya, menjadi Pluralis , tetapi tidak pernah kehilangan Dignity( bahasanya tetap digunakan siapapun yang tinggal di Banyuwangie walau populasinya kecil), begitu juga Kreativitasnya dalam kebudayaan dan kesenian tidak pernah punah seperti ketika dia hadir dulu di bumi Jawadwipa, dalam pendirian candi2 , karya satra Ramayana, Bharatayuda, Arjuna Wiwaha,NegaraKertagama, Sri Tanjung yang terpahat di candi
Mudah2an kita mampu memeliharan Nilai2 tersebut.
Kemudian siapakah orang Using yang berwajah Mongolid dengan kesenian gandrungnya?
Tunggu tulisan berikutnya................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar