Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

PAHLAWAN BLAMBANGAN


 “Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,”  Hasan Ali 


   PRABU TAWANG ALUN (1655-1691)

Prabu Tawang Alun dahulu pernah berkuasa dan menjadi raja Blambangan (1655-1691) yang pada saat itu pusat kerajaan terus berpindah, mulai dari Umpak Songgon, Muncar, Kedawung, Songgon lalu Macanputih. Pada tahun 1676 Prabu Tawang Alun bergelar Sesuhunan Blambangan yang lepas dari Mataram dan Bali, setelah Prabu Tawang Alun merasakan penyesalan akibat terbunuhnya Mas Wilo, Mas Tanjung Sari (dalam peperangan antara Prabu Tawang Alun dengan adik-adiknya yang searing disbut perang saudara), beliau bertapa dilereng gunung raung di hutan Sudyamara atas petunjuk Hyang Maha Batara, dengan menunggangi macanputih Prabu Tawang Alun menuju ke Sudimara dan membangun istana macanputih, beliau membangun istana itu selama 5 tahun 10 bulan dengan menggunakan batu bata merah setal 6 kaki, tinggi 12 kaki, dan dikelilingi pagar tenbok sepanjang 4,5 km.
Didekat gerbang macan putih terdapat sisa peninggalan Belanda berupa prasasti. Karena bentuknya bundar seperti bola, maka warga macanputih menyebutnya Prasasti Penthol. Prabu Tawng Alun wafat pada tanggal 18 Desember 1691 di Pelecutan.

   PANGERAN JAGAPATI

Nama aslinya yaitu Mas Rempeg, beliau adalah putra dari Mas Bagus Dalem Wiroguno atau Mas Bagus Puri dari istri selirnya. Beliau juga keturunan murni Prabu Tawang Alun dari jalur selir. Sejak remaja ia menjadi pengikut Wong Agung Wilis, kedekatannya dengan Wong Agung Wilis menjadikan ia sangat anti Belanda. Pada tahun 1768 Mas Rempeg ikut berperang bersama Wong Agung Wilis, ia adalah mantri muka Wong Agung Wilis, maka ia menjadi orang pertama dalam peperangan dengan Wong Agung Wilis. Setelah Wong Agung Wilis tertangkap perjuangan melawan VOC dilanjutkan olehnya. Kekecewaan terhadap penangkapan dan pembuangan Wong Agung Wilis mendorongnya pergi ke daerah Bayu tepatnya pada tanggal 18 Mei 1768. Sebab pada saat Wong Agung wilis tertangkap parajagabela dan orang-orang terdekatnya menyingkir ke Bayu.

Demikianlah setelah menetap di Bayu dan didukung oleh paraajar sosok Mas Rempek menjadi kepercayaan rakyat. Ia mengatakan bahwa dalam dirinya bersemayam arwah Wong Agung Wilis. Berbagai cara dilakukan oleh Mas rempeg menarik simpati rakyat Blambangan ke pihaknya karena ia juga berjanji akan terus melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis. Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lainnya diseluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung dengan Mas Rempeg di Bayu. Ketika itu Mas Rempeg telah benar-benar siap berperang, terbukti Ia telah membangun benteng yang sangat kuat serta perlengkapan perang lainnya. Atas pengaruhnya itu Mas rempek dianugerahi Pangeran Jagapati oleh pengikutnya. Akhirnya, pada tanggal 19 Desember 1771 Pangeran Jagapati tewas akibat luka yang sangat parah setelah berperang.

  WONG AGUNG WILIS
Wong Agung Wilis, adalah keturunan Prabu Tawang Alun dari Kerajaan Blambangan. Kerajaan Blambangan adalah cikal bakal tumbuhnya Kabupaten Banyuwangi. Sejak muda, Wilis dikenal berani menentang kebijakan VOC/Belanda, dengan melakukan tiga peperangan besar, yakni perang Ulu Pampang, perang Lateng, dan perang Banyualit selama tahun 1678 - 1781. Saat perang Banyualit inilah, Wong Agung Wilis terkepung namun tetap menolak ajakan perundingan dari VOC/Belanda.

Kegigihan Wong Agung Wilis, menginspirasi pejuang-pejuang sesudahnya, yang selalu menyebut diri sebagai titisan Wilis. Salah satu pejuang titisan Wilis adalah Rempeg Jagapati.

Rempeg terkenal karena memimpin perang Bayu tahun 1771 yang mengakibatkan VOC rugi 8 ton emas. Para perwira VOC juga banyak yang tewas. Perang itu menjadi perang terbesar dalam sejarah yang dilakukan rakyat pribumi dalam melawan penjajah.

Sumber-sumber tradisional seperti Babad Blambangan dan Babad Tawang Alun menyebutkan nama kecil Wong Agung Wilis ialah Mas Sirna anak dari Mas Purba. Mas Purba merupakan penguasa Blambangan yang dilantik pada tahun 1697 oleh penguasa Bali dan bergelar Pangeran Danurejo. Dahulu terjadi perkimpoian politik antara Pangeran Danurejo dengan Putri Mengwi yang dikarunia seorang anak bernama Mas Sirna, Wong Agung Wilis merupakan nama ketika ia beranjak dewasa. Tulisan yang dikarang oleh Brandes menyebutkan bahwa nama Wong Agung Wilis didapat ketika ia menjadi Patih Blambangan. Sedangkan perkimpoian Pangeran danurejo dengan permaisurinya (putri Untung Suropati) memiliki anak bernama Mas Ayu Gana, Mas Nuyang, Mas Padhawajaya dan Mas Ayu Dupati.
Setelah Pangeran Danurejo meninggal tahun 1736, kekuasaan diambil alih oleh putranya yang bernama Nuyang atau sering disebut Mas Jingga. Kemudian ia bergelar Danuringrat ketika menjadi penguasa Blambangan yang diangkat oleh Cokroda Mengwi dan berkuasa pada tahun 1736-1764. Sedangkan Mas Sirna (adiknya) diangkat menjadi Patih Blambangan dengan gelar Pangeran Patih Wong Agung Wilis.
Pemerintahan Danuningrat ini penuh dinamika politik yang melibatkan kekuatan kerajaan Bali, Mataram, Madura dan VOC sampai akhirnya mempengaruhi Wong Agung Wilis. Karena merasa tidak nyaman, Wong Agung Wilis mengasingkan diri ke pantai selatan melalui rute Lampon selama tujuh hari, Gunung Dogong selama dua puluh lima hari, Gunung tumpang Pitu selama lima puluh hari, selajutnya setelah mengakhiri perjalanannya ia mendirikan pedukuhan Prawingan di Pesisir Manis.
Karena Danuringrat ingin sekali melepaskan Blambangan dari Kerajaan Mengwi, ia membunuh Rangga Satata seorang wakil kerajaan Mengwi. Danuningrat kemudian melarikan diri dan meminta perlindungan kepada VOC, namun sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka. Akhirnya, Danuningrat ditangkap ketika berada di Blambangan serta dibawa ke mengwi untuk ditahan. Danuningrat dan keluarganya kemudian dibunuh di pantai Seseh pada tahun 1764. Pada tanggal 23 Maret 1767 pasukan VOC mendarat di Banyualit dan merebut Blambangan dari kekuasaan orang-orang Bali. Setelah mengusai kota Lateng dan Ulupampang VOC mendirikan benteng disana. Blanke, pemimpin VOC kemudian mengangkat Mas Anom dan Mas Weka sebagai Regen pertama di Balambangan. Tahun 1767 Blanke meninggal dan digantikan oleh Adrian Van Rijks dan wakilnya Cornelis Van biesheuvel. Pada tahun itu juga Wong Agung Wilis yang berada di Mengwi datang ke Blambangan untuk melawan VOC. Kegigihannya membuat Mas Weka dan Mas Anom yang semula menjadi pengikut VOC bergabung. Pada akhir bulan Maret 1768 Wong Agung Wilis menyerang benteng VOC yang berada di Banyualit, tetapi karena tembakan gencar meriam serdadu VOC mengakibatkan pasukan Wong Agung Wilis tercerai berai dan lari kearah selatan menuju Ulupampang.
Pada tanggal 17 mei 1768, VOC menyerang Ulupampang, dalam pertempuran ini, karena persenjataan terbatas, pasukan Wong Agung Wilis mengalami kekalahan perang. Perang demi perang telah dijalani, dan pada akhirnya pada tanggal 18 mei 1768 kekuatan Wong Agung Wilis ditaklukkan dan kota Lateng dibumi hanguskan. Mas Anom dan Mas Weka menyerah kepada VOC. Tetapi Wong Agung Wilis dapat lolos kearah selatan. karena tipudaya Mas Weka tersebut maka akhirnya Wong Agung Wilis tertangkap di Blimbingsari. Sebagai hukuman wong Agung Wilis dikirim dan ditawan ke Banda. Namun demikian, dengan semangatnya akhirnya Wong Agung Wilis dapat meloloskan diri dari pulau Banda menuju ke Seram dan mendarat ke Bali. Tokoh ini dikabarkan meninggal pada tahun 1780 di Mengawi, Bali karena lanjut usia.

  SAYU WIWIT

Setelah kota lateng dikuasai oleh Belanda, sisa-sisa pejuang Belambangan menghimpun kekuatan kembali di Gunung Raung, di kaki sebelah Timur Bayu. Pada saat itu muncul seorang pejuang wanita yang bernama Sayu Wiwit. Dia adalah putri dari Mas Gumuk Jati. Ia bertekat untuk membela dan mempertahankan tanah airnya walaupun ia harus meninggalkan hartanya. Pergerakan yang dilakukan Sayu Wiwit, dibantu oleh Leboksamiran, seorang Madura yang anti Belanda. Ia adalah sahabat Mas Surawijaya ( putra Wong Agung Wilis). Mereka memimpin pergerakan pasukan di Jember. Di Jember Sayu Wiwit bisa menguasai pos penjaga milik Belanda. Sayu Wiwit meneruskan ke Nusa Burung, dan akhirnya menguasai wilayah Nusa Burung juga. Pertengahan Agustus 1771, setelah kemenangan di Jember, Sayu Wiwit dan Mas Suryawijaya menikah di Candi Bang. Mereka berdua meneruskan perjuangannya. Mas Suryawijaya menuju Puger, sedengkan Sayu Wiwit di Sentong.
Dalam perang, Sayu Wiwit meminta nasehat kepada pangeran Jagapati tentang, bagaimana cara atau taktik melawan Belanda. Sayu Wiwit sebagai panglima perang sedangkan Pangaran Jagapati yang memegang komando umum. Mereka pergi berperang sampai ke Songgon, desa tegal perangan dukuh duren. Meraka melakukan serangan yang mendadak dan membabibuta sehingga membuat pasukan belanda kacau balau dan banyak yang meniggal. Namun dalam penyerangan ini, Pangeran Jagapati terluka parah terkena senjata Alap-alap dari Madura. Alap-alap sendiri terbunuh oleh senjata pangeran Jagapati, si kelabang jenis biring lanangan. Pangeran Jagapati yang terluka dibawa ke benteng Bayu. Keesoka harinya, pangeran Jagapati mengangkat patih Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Setelah perang mereka kembali ke benteng dan menemukan Pangeran Jagapati telah meninggal.
Sedangakan berita lainnya adalah Mas Surawijaya meninggal di Puger oleh pengkhianatan Leboksamirana. Namun Leboksamirana juga terbunuh ditempat itu. Setelah mendengar kematian suaminya, Sayu Wiwit berperang melawan pasukan kapten Marhailu. Sayu Wiwit berhasil membunuh kapten tersebut, namun akhirnya ia meninggal karena tertembakmeriam oleh pasukan kapten Heinrich.

   ROWO BAYU

Prabu Tawang Alun berkuasa di kerajaan Kedawung selama empat tahun. Akibat adu domba belanda, Mas Wila, adik kandung prabu Tawang Alun ingin menguasai Kedawung, maka menyingkirlah prabu Tawang Alun ke Rowo Bayu beserta empat puluh pengikutnya dan berkuasa selama 6 tahun di Bayu. Mendengar kabar tersebut, Mas Wilo menyerang untuk merebut kekuasan Prabu Tawang Alun. Mas Wilo menyerbu bersama 4000 tentaranya. Dalam perang ini, Mas Wilo, Wiloteruno, Mas Ayu Melok dan patihnya Mas Ayu Gringsing Retno terbunuh.
Dilereng gunung raung (tepatnya diRowo bayu ) terdapat tempat bersemedi prabu Tawang Alun.Karena penyesalan yang amat sangat atas meninggalnya adik – adiknya yaitu Mas Wilo dan Mas Ayu Tunjungsari. Persemedian itu dilakukan selama tujuh hari. Dalam semedinya ia mendapat petunjuk dari Hyang Maha Batara berjalan kearah utara dan akan bertemu dengan seekor macan putih yang akan membawanya kehutan Sudimoro dan disana diperintahkan untuk membangun istana macan putih.

Berdasarkan temuan Juargang tahun 1849 dengan ukuran panjang 36 kaki, tinggi dan lebar 12 kaki. Dibangun di atas sebuah pondasi yang terbuat dari batu kali yang berbentuk segi empat, menyerupai kura-kura dengan dilingkari dua ekor ular. Kura-kura adalah lambang dunia, ular melambangkan waktu atau zaman.

Hiasan pada candi, menunjukkan kesenangan-kesenangan orang jawa seperti berburu binatang, melaksanakan upacara pemujaan, dan lain-lain. Selain itu, Reliefnya menggambarkan kemunduran-kemunduran orang jawa, seperti akibat konflik perang saudara.

Dindingnya yang terletak sebelah dalam terdiri dari batu bata, dan atapnya terbuat dari batu. Sisa-sisa bangunan ini telah runtuh dan tidak berbekas. Jalan masuknya di sebelah barat ada pendopo kecil, dimana pondasi bangunan itu masih tersisa dan terdapat anak tangga dalam candi.

Fragmen hiasan berupa makhluk-makhluk yang menakutkan, selain itu juga ada bangunan pancuran kecil dan saluran-saluran air yang dipergunakan untuk upacara-upacara memberi sesajian, pensucian, dan pembersihan. Konon kolong saluran air ini, pada waktu terjadinya kekacauan politik di istana macan putih yaitu Pangeran Mas Sosro Negoro pengganti Tawang alun II tahun 1691 tidak disetujui oleh saudara-saudaranya dan dewan penasehat kerajaan, akibatnya Mas Sosro Negoro mengamuk, siapa yang dijumpai dibunuh, termasuk anak istrinya. Untuk menyelamatkan diri, permaisuri dan anak kecilnya yang bernama Mas Purbo (Danurjo) melalui kolong saluran air, kemudian menempat di daerah Laban Asem/Laban Cino, nama daerah ini diambil dari pengasuh/emban cino yang mengasuh Mas Purbo.

Kemudian, untuk balas dendam kepada Macan Apura yang mengkudeta kedudukan bapaknya, ibu Mas Purbo meminta bantuan untuk mengusir Macan Apura yang kedudukan istananya sudah di pindah ke Wijenan Singojuruh. Kemudian atas bantuan buleleng Macan Apura melarikan diri ke Pasuruan.

Ditempat yang lebih tinggi, yang berada di sebelah barat diperkirakan sebagai tempat pemukiman para pembesar kerajaan Macan Putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar