Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Sejarah blambangan


Banyuwangi tak bisa dipisahkan dengan nama Blambangan. Karena secara historis di Banyuwangilah kekuasaan kerajaan Blambangan terakhir berada. Blambangan adalah sebuah kerajaan yang sering luput dari perhatian para ahli sejarah. Lebih kuat kesannya sebagai dongeng dari pada kenyataan sejarah. Padahal Blambangan memiliki peranan yang berarti dalam percaturan politik sosial budaya jawa pada khususnya. Sering tidak disadari bahwa kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Blambangan adalah kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan VOC serta Blambanganlah kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah Belanda di pulau Jawa. Akibat peperangan yang tiada henti baik dengan Mataram, Bali maupun Belanda menyebabkan tanah Blambangan kehilangan penduduk dalan jumlah yang besar, baik meninggal karena peperangan maupun sebagai tawanan perang, sedemikian rupa hingga kejayaannya di masa lampau terlupakan.[1]

Sejak awal berdirinya, berbagai persoalan telah menimpa kerajaan Blambangan. Seakan kerajaan Blambangan dilahirkan untuk mengalami peperangan dan didera kesengsaraan. Bermula dengan Majapahit. Hubungan diplomatik yang tidak harmonis mengobarkan perang Nambi pada tahun 1316, perang Sadeng tahun 1331, tujuh puluh tahun berikutnya berkobar peperangan dahsyat selama enam tahun yang dipicu perebutan kekuasaan dikenal dengan Perang Paregreg.[2] Disusul tahun-tahun selanjutnya peperangan yang melelahkan melawan penguasa Mataram dan Bali serta peperangan dengan Kompeni Belanda.[3]

Ketika kekuasaan Majapahit melemah kemudian berganti pemerintahan Islam Demak, Pajang dan Mataram, penguasa Bali merasa berkepentingan terhadap Blambangan untuk membendung pengaruh Islam. Maka mulailah babak baru hubungan yang pelik antara Blambangan Mataram dan Bali. Blambangan membutuhkan Bali untuk menghadapai invasi Mataram yang kuat, tapi Blambangan juga ingin melepaskan pengaruh Bali.

Tidak hanya peperangan dengan penguasa luar, peperangan yang terjadi di istana (nagari) akibat perebutan kekuasaan juga sangat mewarnai sejarah Blambangan. Sejak Pangeran Kedawung mangkat dan digantikan oleh anaknya yaitu Tawang Alun pada tahun 1655 perebutan kekuasaan dalam istana sering terjadi. Pemberontakan Mas Wila kepada Tawang Alun, pemerintahan Pangeran Patih Sasranegara yang kisruh, pemerintahan Macan Pura yang singkat kemudian diangkat Pangeran Danureja, dan akhirnya masa pemerintahan Pangeran Danuningrat yang tragis. Semuanya menunjukkan hubungan yang pelik saling keterkaitan dan saling membutuhkan antara Blambangan dan Bali di satu pihak dan pengaruh Mataram serta Pasuruhan di pihak lain.[4]

Keadaan di Blambangan akhirnya diperkeruh oleh kehadiran Belanda yang didorong demi kepentingan pengamanan perdagangannya yang kemudian berlanjut pada keinginan menguasai sumber daya alam. Sumber daya alam tidak akan bisa dikuasai dengan bebas tanpa penguasaan di bidang politik. Maka Belandapun turun lebih dalam pada bidang kekuasaan.

Belanda menganggap penting dan strategis untuk menaklukkan dan menguasai sendiri wilayah Blambangan setelah Inggris mendirikan kantor dagang di pantai timur Blambangan. Dimulai dengan menduduki Banyualit pada tahun 1767 kemudian menguasai Ulu Pangpang dan Lateng Rogojampi, maka mulailah peperangan yang paling mengerikan yang dilakukan VOC terhadap rakyat Blambangan pada waktu itu. Baik peperangan yang terjadi di Blambangan barat maupun peperangan yang terjadi di Blambangan timur. Namun rakyat Blambangan dengan gigih melakukan perlawanan yang luar biasa.

Kondisi konflik yang berkepanjangan di Blambangan baik konflik intern keluarga istana maupun konflik akibat pendudukan dan penyerangan kekuasaan asing melahirkan pribadi-pribadi istimewa yang menempatkan diri pada posisi kunci dan memegang peranan penting dalam konflik tersebut. Maka perlu diketahui siapakah pribadi-pribadi istimewa itu dan bagaimanakah peran yang diambilnya. Khusunya bagaimanakah peranan tokoh wanita dalam percaturan sejarah Blambangan.

Diantara tokoh-tokoh wanita Blambangan yang penting dikaji adalah tokoh pejuang perempuan yang bernama Sayu Wiwit. Dengan ketokohannya Sayu Wiwit tidak hanya mampu menggerakkan prajurit wanita akan tetapi ia juga memimpin dan menggerakkan prajurit laki-laki. Ia dengan gagah berani memimpin peperangan yang terjadi Blambangan barat yakni peperangan yang terjadi di Puger (Jember) dan di Sentong (dekat Bondowoso) yang terjadi pada tahun 1771 maupun peperangan yang terjadi di Blambangan timur yakni peperangan yang terjadi di Bayu pada tahun 1771-1772. Ia yang seorang perempuan dengan gagah berani dan dengan pengaruhnya yang luar biasa mampu memobilisir massa dan menggerakkan para bekel agung untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda. Dan dengan ketokohannya pula ia memimpin peperangan dan menjadi pelindung serta penyemangat spiritual para prajurit serta menjadi penasehat peperangan. Dan akhirnya ia gugur membela tanah airnya di medan pertempuran.

hasan basri


daftar pustaka

[1] Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995, hal. 1-2.

[2] Tentang penyebab peperangan dan jalannya peperangan, baca Slametmuljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Inti Idayu Press, Jakarta, 1983, Perang Nambi hal. 152-154, Perang Sadeng hal.161-169, Perang Paregreg hal. 224-230.

[3] Tentang perang dengan Mataram dan Bali baca De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Grafitipers, Jakarta, 1989, hal. 237-245. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II hal. 1037-1039. B.r. Anderson, Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudyaan Jawa, Prisma 11 November 1982, hal. 7.

[4] I Made Sujana menganalisa peristiwa ini dengan menimpakan pada sistem pemerintahan di Blambangan yang terpusat pada nagari (ibu kota) yang disebut dengan Nagari Tawon Madu. Kekuasaan Pangeran terhadap wilayah di luar keraton (Jawikuta) yang didelegasikan kepada patih, bekel agung dan patinggi menyebabkan lemahnya penguasaan Pangeran terhadap sumber daya manusia (prajurit, tenaga kerja dll) dan sumber daya alam (tanah pertanaian, perkebunan) yang berada di luar ibukota. Selain itu karena luasnya wilayah dan besarnya kekuasaan bekel agung dan patih menyebabkan juga lemahnya posisi politik Pangeran. Hal inilah yang menyebabkan mengapa di Blambangan sering terjadi pemberontakan terhadap nagari. Pengertian masa Kertayuga di Balambangan beda pengertiannya dengan masa Kertayuga di Mataram. Makna masa Kertayuga di Blambangan hanyalah memiliki pengertian masa-masa tiadanya pemberontakan terhadap istana, tapi di Mataram bermakna lebih luas yaitu masa stabilitas politik dan masa pembangunan dan kemakmuran negara. Lebih lanjut baca I Made Sujana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001.

sumber: http://hasanbasri08.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar