Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Wong using



Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten yang terletak di ujung timur P. Jawa. Kabupaten ini terletak diantara 7º 43’- 8º 46’ Lintang Selatan dan 113º 53’-114º 38’ Bujur Timur. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan Bondowoso.
Umumnya daerah bagian selatan, barat, dan utara merupakan daerah pegunungan sehingga pada daerah ini memiliki tingkat kemiringan tanah rata-rata mencapai kurang dari 40º dengan rata-rata curah hujan lebih tinggi bila dibanding dengan daerah yang lain.

Daerah Banyuwangi yang banyak dialiri sungai-sungai yang bermanfaat untuk me-ngairi hamparan sawah yang luas. Dari gambaran kondisi yang demikian menjadikan Kabupaten Banyuwangi pernah mendapat peringkat sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur sebagai daerah lumbung padi. Berdasarkan data statistik meng-indikasikan bahwa Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi pertanian yang relatif besar setelah Kabupaten Malang dan Jember, dibanding dengan kabupaten lain di Propinsi Jawa Timur.

Bila diperhatikan menurut penggunaannya, luas Kabupaten Banyuwangi sekitar 5.782,50 km2, sebagian besar masih merupakan daerah kawasan hutan. Bahkan kawasan hutan ini mencapai 193.684,73 ha, daerah persawahan sekitar 66.553 ha, perkebunan dengan luas sekitar 57.707 ha, dan dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman dengan luas sekitar 28.971,59 ha. Sedangkan sisanya dipergunakan sebagai ladang dan jalan. Kabupaten Banyuwangi dibagi menjadi 24 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah 1) Pesanggaran, 2) Bangorejo, 3) Purwoharjo, 4) Tegaldlimo, 5) Muncar, 6) Cluring, 7) Gambiran, 8) Glenmore, 9) Kalibaru, 10) Genteng, 11) Srono, 12) Rogojampi, 13) Kabat, 14) Singojuruh, 15) Sempu, 16) Songgon, 17) Glagah, 18) Banyuwangi, 19) Giri, 20) Kalipuro, 21) Wongsorejo, 22) Licin, 23) Cluring, dan 24) Songgon.
Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya Jawa-Kulon). Di luar kecamatan-kecamatan tersebut, komunitas Using bukan lagi merupakan penduduk yang dominan (teramat sedikit), bahkan di kecamatan-kecamatan Kalibaru, Glenmore, dan Wongsorejo hampir pasti tidak dijumpai orang Using.

Narasi tentang Using biasa menghubungkan komunitas ini dengan kerajaan Blambangan,3 sebuah wilayah kekuasaan politik bagian dari kerajaan Majapahit. Prasasti Gunung Butak, pada tahun 1294, menyebutkan adanya perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam perintisan dan pembentukan kerajaan Majapahit bahwa “pulau Jawa akan dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian.” Dalam perjanjian itu Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan, dan Tigang Juru yang semua itu belakangan dikenal dengan Blambangan. Arya Wiraraja kemudian diangkat secara resmi sebagai adipati pertama (Lekkerkerker, 1923:220).

Kurang lebih 16 tahun Arya Wiraraja memerintah Blambangan kemudian digantikan oleh Arya Nambi yang memerintah pada tahun 1311-1331; sementara di Majapahit, dalam rentang waktu itu pula, telah terjadi pergantian kekuasaan dari Raden Wijaya kepada anaknya, Jayanegara. Arya Nambi menganggap bahwa Jayanegara, tidak seperti ayahnya, banyak melakukan pelanggaran, penindasan, dan menyengsarakan rakyat, dan oleh karena itu sekitar tahun 1316 ia melancarkan serangkaian pemberontakan terhadap Jayanegara, serentetan peristiwa yang kemudian diwarisi oleh penguasa-penguasa berikutnya di kedua wilayah tersebut.

Hubungan Blambangan-Majapahit semakin keruh dan rumit ketika Bhre Wirabumi, anak Hayam Wuruk dari salah satu isteri selirnya, berkuasa di Blambangan (1364-1406). Selain masalah-masalah sebelumnya yang tidak mendapatkan penyelesaian politik, penyerahan tampuk kekuasaan politik kepada Wikrawardhana oleh isterinya, putri Kusumawardhani yang mendapat mandat dari ayahnya, Hayam Wuruk dipandang sebagai kesalahan politik dan tradisi yang termaafkan oleh Bhre Wirabumi. Sebagai keturunan langsung Hayam wuruk, meski dari istri selir, Bhre Wirabumi merasa lebih berhak untuk menduduki tahta Majapahit dibanding Wikrawardhana dan, karenanya, ia berusaha menempuh dengan berbagai macam cara untuk dapat mendudukinya.

Perang Blambangan-Majapahit yang banyak mengalirkan darah dan melayangkan jiwa tersebut memuncak dalam perang saudara yang dikenal dengan Paregreg (1401-1404), sebuah perang panjang untuk memperebutkan tahta politik. Bhre Wirabhumi yang telah mendeklarasikan sebagai raja Blambangan dengan basis wilayah politik Kedaton Wetan berhadapan secara keras dengan Wikrawardhana yang berbasis wilayah politik Kedaton Kulon. Dan akhirnya, perang itu, mengakibatkan terpenggalnya Bhre Wirabhumi oleh Narapati Raden Gajah Mada sebagaimana dikisahkan dalam kitab Pararaton (Brandes, 1920:1-15; Muljana, 1983:219).

Tahta Blambangan kemudian digantikan oleh Menak Dedali Putih yang berkuasa pada 1406-1447. Pada masa Menak ini, Blambangan nyaris tidak bersuara dan hampir sepenuhnya berada dalam cengkeraman Majapahit dalam segala aspek kehidupan (sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Bahkan ketika Majapahit runtuh pada abad ke-16 atas desakan kekuatan Islam Demak, para petingginya, termasuk raja terakhir, Prabu Brawijaya V, beringsut ke arah timur dan memanfaatkan Blambangan sebagai salah satu pertahanan penting sebelum mereka menuju Bali. Haagerdal (1995:106-107) dan Beatty (2001:17) menyebut bahwa Blambangan saat itu menjadi tempat pengungsian bangsawan dan cendekiawan Majapahit yang melarikan diri dan penguasanya berpaling ke Bali, untuk membangun aliansi. Ketika hampir seluruh wilayah tengah dan timur pulau Jawa menjadi Islam, Blambangan tetap merupakan zona Hindu yang berperan penting dalam menghadapi Islamisasi Demak maupun kerajaan-kerajaan Islam se-sudahnya seperti Mataram.

Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan pada tahun 1765.

ImageJika di masa kekuasaan Bali maupun Mataram, Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati5 yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi6 dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.

Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali...”.

Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:

“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”.
Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using.


mogo-mugo anak putune heng lali nyang sembyah buyuteek..............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar