Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Menjejaki Sejarah Keagungan Kerajaan Blambangan

TEMPO/Ika Ningtyas

TEMPO Interaktif, BANYUWANGI - JARUM jam di tanganku menunjukkan angka sembilan pagi. Tanah di Desa Macan Putih, Kecamatan Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, masih basah setelah diguyur hujan sejak subuh. Laju bus yang membawa rombonganku beranggotakan 40 orang berjalan lambat menyusuri jalanan desa yang sempit. Dari kaca jendela bus, saya bisa memandang hamparan sawah di kanan dan kiri jalan.

Saat itu, pertengahan Mei lalu, saya memulai perjalanan menyusuri jejak Kerajaan Blambangan. Awal penjejakan memang dimulai dari Desa Macan Putih, sekitar 10 kilometer dari Kota Banyuwangi.

Saya merasa tertarik menapaki jejak kerajaan bercorak Hindu terakhir di tanah Jawa itu. Kerajaan yang berdiri sekitar abad XIII hingga abad XVIII itu hampir tidak pernah tercatat dalam buku sejarah nasional. Penelitian sejarah juga tergolong minim. Kerajaan Blambangan lebih populer diceritakan sebagai legenda dan mitos. Sebut saja tentang epos yang cukup terkenal: kisah Damarwulan versus Minakjingga.

Saya berkesempatan menyusuri jejak Kerajaan Blambangan itu sebagai rangkaian acara Blambangan Heritage Trail yang diselenggarakan sebuah universitas swasta di Banyuwangi. Dosen Sejarah Universitas Gajah Mada Doktor Sri Margana didapuk menjadi pemateri dalam acara itu. Desertasi doktor berusia 40 tahun itu di Universitas Leiden, Belanda, berjudul 'JAVA'S LAST FRONTIER: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763 - 1813.' dianggap semakin membuka sejarah Kerajaan Blambangan di era kolonial.

Para petani di Desa Macan Putih tampak sudah sibuk merawat tanaman padinya yang sebentar lagi memasuki masa panen. Berlomba dengan suara mesin bus, lamat-lamat saya mendengarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari kiling bambu. Ada sekitar lima kiling setinggi 10 meter ditanam di pinggiran sawah. Kiling itu terbuat dari seruas kayu yang dipasang di ujung bambu. Pada saat ditiup angin, kiling akan berputar dan menghasilkan bunyi, yang oleh petani di Banyuwangi dipercaya bisa mengusir burung.

Sebelum menjadi Desa Macan Putih, kawasan ini diberi nama hutan Sudiamara. Menurut Sri Margana, sekitar tahun 1665, Raja Blambangan ke VIII, yakni Tawang Alun II Danurea, menjadikan daerah yang subur ini sebagai ibu kota kerajaan.

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh abad XV, Blambangan menjadi rebutan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, sebagai bagian ekspansi kerajaan-kerajaan itu ke wilayah Jawa bagian timur. Kerajaan-kerajaan di Bali, seperti Gelgel dan Mengwi juga berkepentingan dengan Blambangan untuk menangkal masuknya Islam. Sehingga, ibu kota Blambangan yang semula di Panarukan (sekarang masuk Situbondo) dan bercorak maritim, semakin terdesak ke pedalaman.

Dari sembilan raja yang pernah berkuasa di Blambangan, Tawang Alun II (1665-1691) merupakan raja terbesar. Wilayah kekuasaannya menjangkau Jember, Lumajang, Situbondo dan Bali. Masyarakat Blambangan saat itu hidup damai dan makmur, setelah sekian lamanya terlibat dalam berbagai peperangan melawan ekspansi kerajaan-kerajaan dari barat dan timur.

Karakter multikultur Sang Raja, tutur Margana, menjadi rahasia kebesarannya. Meskipun Tawang Alun penganut Hindu yang taat, tapi dia tidak melarang komunitas Islam berkembang. "Yang ia tentang adalah dominansi asing," ujarnya.

Namun, menurut Margana, hanya sedikit sumber sejarah yang menerangkan tentang masa Tawang Alun II ini akibat tidak ada kontak dengan bangsa asing. Riwayat Tawang Alun II banyak ditulis dalam arsip Belanda, justeru pada masa akhirnya tahtanya. Yakni ketika upacara ngaben jenasahnya yang digelar secara spektakuler. Alkisah, dalam upacara sebanyak 271 isteri dari 400 isteri Tawang Alun ikut membakar diri (sati).

Tempat kremasi jenasah Tawang Alun hingga saat ini masih bisa ditemukan. Terletak satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih. Area seluas sekitar setengah hektare tersebut dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Di halaman, tumbuh pohon beringin berusia puluhan tahun.

Bangunan utama di lahan tersebut mirip pendopo berbentuk segi enam, berlantai keramik putih. Sebuah batu sebesar kepala manusia tertanam di tengah dengan dua payung di atasnya.

Pagar dan pendopo tersebut sebenarnya bukan bangunan asli. Masyarakat sekitarlah yang berinisiatif memugarnya. Menurut Nuruddin, si juru kunci, bangunan itu dipugar tahun 1968.

Sementara letak bangunan Kerajaan belum diketahui dengan pasti. Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian di 17 titik. Namun kegiatan itu tak sampai rampung, dan akhirnya ditimbun lagi.

Nuruddin mengkisahkan, warga setempat masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu bata saat ini.

Perjalanan dari Desa Macan Putih, berlanjut ke Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Sepanjang perjalanan kami disuguhi aroma durian. Ya, kecamatan yang berbatasan dengan Bondowoso saat itu sedang menikmati masa puncak panen durian.

Sebelum sampai di Desa Bayu, kami menjumpai sebuah monumen peringatan Puputan Bayu. Monumen yang dibangun tahun 2004 ini, sebagai simbol perang puputan masyarakat Blambangan yang dipimpin Rempeg Jagapati melawan VOC Belanda yang pada abad-18 juga berusaha menguasai Blambangan. Prajurit Blambangan memenangkan perang yang berlangsung 18 Desember 1771 itu, dengan ditandai terbunuhnya pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal tersebut kini dipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi.

Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun yang lari dari Kerajaan Blambangan yang saat itu berpusat di Lateng (sekarang kecamatan Rogojampi) karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup. Dia akhirnya menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat mirip kerajaan sehingga membuat VOC marah.

Rowo Bayu saat ini adalah sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektare. Rawa yang airnya berwarna hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren, Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan. Selain hutan pinus, seluas tiga hektare lainnya merupakan hutan dengan berbagai jenis tanaman dan semak belukar, khas hutan tropis yang dihuni berbagai satwa. Hutan ini merupakan bagian Kesatuan Pemangku Hutan Rogojampi, Banyuwangi Barat.

Perlawanan rakyat Blambangan itu merupakan puncak dalam memerangi berbagai dominansi asing. Namun setahun kemudian, tepatnya pada Oktober 1772, VOC membalas kekalahannya dengan mengirim 1.500 pasukan menumpas prajurit Blambangan. Lumbung-lumbung padi di Songgon, dibakar sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah akibat kelaparan.

Menurut Sri Margana, saat itu alam Rowo Bayu tak seindah sekarang, melainkan sangat menyeramkan. Ribuan prajurit Blambangan dibunuh, dan kepalanya digelantungkan di pohon-pohon. Bau anyir darah menyeruap kemana-mana. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an jiwa hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat perang itu. "Inilah perang paling sadis di Indonesia," ucap Margana.

Bekas kerajaan di Rowo Bayu belum ditemukan hingga kini dan membutuhkan penelitian arkeologis lebih lanjut. Situs yang bisa ditemui justeru situs Raja Tawang Alun, yakni Candi Puncak Agung Macan Putih dan Petilasan Pertapaan Tawang Alun.

Dua situs yang dibangun sekitar tahun 2006 lalu itu sebagai pertanda bahwa Tawang Alun pernah menjejakkan diri di Rowo Bayu, jauh sebelum periode Jagapati. Tawang Alun lebih dulu membangun kerajaannya di Rowo Bayu sebelum pindah ke Macan Putih karena diserang oleh adiknya sendiri, Mas Wila.

Selain sebagai tujuan wisata alam, Rowo Bayu sering dikunjungi umat Hindu di Banyuwangi maupun Bali yang ingin bertapa atau mandi membersihkan diri di mata air sekitar situs. Karena itu, menurut Mbah Saji, si juru kunci, kedua situs itu justru dibangun oleh salah seorang warga Hindu asal Bali yang sering mendatangi Rowo Bayu. "Tapi tempat ini tetap terbuka bagi siapa saja," kisah Mbah Saji.

Hanya satu jam kami berada di Desa Bayu, Songgon. Makan siang kami nikmati di atas bus dengan buah rambutan sebagai pencuci mulut. Lagu-lagu tradisional berbahasa Using, Banyuwangi, terus menemani perjalanan kami menuju tempat ketiga: Kecamatan Muncar, yang kami tempuh dalam 30 menit.

Muncar adalah pusat kerajaan Blambangan yang dibangun VOC setelah kekalahan rakyat Blambangan dalam perang Puputan Bayu. Bisa disebut, di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan II yang bercorak Islam dimulai, dan merupakan ibu kota kerajaan terakhir sebelum akhirnya pindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi letak Pendopo Kabupaten).

Kami lebih dulu mampir di Situs Umpak Songo, Desa Tembokrejo. Situs ini dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian kerajaan. Di dalam areal seluas setengah hektare itu terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di tengah. Si juru kunci, Soimin, menceritakan, batu-batu yang tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga. Karena itulah, situs ini dinamakan Umpak Songo yang artinya sembilan penyangga.

Sri Margana menuturkan, VOC memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayah ini karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Muncar (dulu bernama Ulupampang). VOC berkepentingan mengawasi Selat Bali itu dari kerajaan-kerajaan di Bali (Gelgel dan Mengwi) yang berusaha merebut Blambangan. Apalagi, kerajaan-kerajaan di Bali itu kerap memberi bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun kerajaan-kerajaan Islam sehingga Blambangan sulit terkalahkan.

Langkah lain, kata Margana, VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram Islam untuk mengislamkan Blambangan sebagai upaya untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali. Islamisasi itu ditempuh dengan menempatkan orang-orang Mataram Islam untuk menjadi raja di Blambangan dengan harapan proses Islamisasi berlangsung cepat.

Situs lainnya yang bisa disaksikan di wilayan ini adalah Situs Sitihinggil yang berarti tanah yang tinggi. Hal ini merujuk pada bahasa Jawa. Siti yang artinya tanah, sedangkan hinggil berarti tinggi. Dulunya, tempat ini dipakai VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan. Dari Situs Umpak Songo, kita menempuhnya dalam waktu 10 menit saja ke arah timur.

Ya benar saja, ketika saya naik ke puncak Sitihinggil, pemandangan lautan lepas dengan kapal-kapal nelayan terlihat cukup jelas. Meskipun sedikit terhalangi oleh bangunan rumah susun yang padat di sekitar situs.

Dari Sitihinggil, kami menuju Pelabuhan Muncar. Nampak ratusan kapal yang didominasi warna hijau, kuning dan merah, tengah bersandar di kolam labuh ketika kami tiba sekitar jam 15.00 WIB. Nelayan-nelayan ada yang baru turun dari kapal, mengangkut berton-ton ikan hasil tangkapan.

Pelabuhan inilah, yang menjadi jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad XVII di Blambangan. VOC mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan, yang dulunya bernama Sahbandar Ship. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara. Sehingga, di sekitar pelabuhan terbentuk perkampungan-perkampungan berbagai etnis itu.

Sampai sekarang, Pelabuhan Muncar tetap padat karena menjadi tempat bergantung 13 ribu nelayan mencari ikan dengan 1.700-an unit kapal. Hasil tangkapan nelayan dalam setahun rata-rata mencapai 30 ribu ton ikan yang menjadikan Muncar sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia.

Jam menunjuk pukul 16.00, menjadikan kami tak bisa berlama-lama menikmati kesibukan nelayan. Apalagi, tiba-tiba bulir air jatuh dari langit. Kami bergegas kembali ke dalam bus.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Kecamatan Tegaldlimo, dengan waktu tempuh sekitar dua jam.

Melewati hutan seluas 43.420 hektare saat tidak ada sinar matahari, membuat bulu roma berdiri. Gelap. Kanan-kiri jalan pepohonan berdiri rapat. Suara satwa malam seolah berlomba dengan suara mesin bus. Kami harus melewati jalan sejauh 15 kilometer untuk memasuki kawasan Taman Nasional. Kondisi jalan rusak parah, penuh lubang. Perjalanan serasa di atas kapal laut, diayun gelombang ke kanan dan ke kiri.

Setelah melewati perjalanan yang disertai kecemasan, kami tiba di pesanggrahan pantai Trianggulasi yang menjadi tempat kami bermalam. Kami akhirnya bisa bernapas lega. Tidur menjadi agenda yang sangat dinantikan, ditemani suara deburan ombak laut selatan.

Agenda sesungguhnya baru dimulai keesokan harinya. Ketika, sinar matahari mulai menimpa bumi, pemandangan TNAP terlihat amat elok. Pepohonan menjulang dengan daun-daunnya yang basah oleh embun. Suara kicauan burung bersahutan. Ratusan kera berekor panjang, tiba-tiba memenuhi halaman pesanggrahan kami, dan siap mencuri makanan yang diacuhkan pemiliknya.

Alas purwo dianggap sebagai hutan tertua di Jawa. Ada 500-an jenis tanaman yang tumbuh di hutan ini yang menjadi habitat bagi berbagai satwa liar. Menurut Sri Margana, disinilah, dulunya, orang-orang Majapahit yang menjadi pemeluk Hindu yang taat melarikan diri karena menolak pengislaman dari utusan Kerajaan Mataram.

Sebagai peninggalannya, kami menjumpai dua pura yang berdiri di tengah hutan, sekitar satu kilometer dari pesanggrahan pantai Trianggulasi, yakni Pura Kawitan dan Pura Giri Selaka.

Menurut Mangku Adi, seorang pemangku, Situs Kawitan ditemukan secara tak sengaja oleh penduduk sekitar tahun 1965 dan mulai dibuka untuk kegiatan keagamaan pada tahun 1968. Adapun Pura Giri Selaka, yang bersebelahan dengan Pura Kawitan, dibangun tahun 1996.

Pura Giri, katanya, dibangun karena umat yang melakukan ritual semakin banyak. Upacara yang rutin dilakukan adalah upacara Pager Wesi, yang digelar setiap 120 hari sekali. Upacara ini memuji Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta mensyukuri ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para dewa.

Latar sejarah inilah, yang menjadikan Alas Purwo begitu dikeramatkan. Mereka yang berkunjung di sini tak sekedar menikmati keindahan alamnya yang masih alami. Sebagian besar, mereka datang untuk melakukan wisata spritual. Bukan hanya umat Hindu, melainkan umat agama lain pun berdatangan. Mereka melakukan pemujaan, berdoa, dan bersemedi. Selain dua pura itu, aktivitas spiritual banyak dilakukan di goa-goa, yang jumlahnya sekitar 40 buah. Goa Istana, Goa Basori, dan Goa Mayangkara, adalah goa-goa yang paling banyak dikunjungi.

Ketika bus mulai membawaku pulang, saya merasa bersyukur. Meski perhatiaan pemerintah masih minim terhadap sejarah Kerajaan Blambangan, namun riwayatnya tetap hidup di masyarakat. Peninggalan kerajaan menjadi tempat yang dikeramatkan, sebagai cara masyarakat menghormati leluhurnya. IKA NINGTYAS.


http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/05/31/brk,20100531-251395,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar