Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

 PERANG BYANGKAT

 Masyarakat asli Banyuwangi punya cara unik dalam melangsungkan pernikahan. Mereka selalu melakukan tradisi perang bangkat. “Soraaak…, ayo maju!” tegas ketua rombongan mempelai pria saat berjalan mendekati rumah pengantin putri.
Dengan membawa berbagai kebutuhan rumah tangga, iring-iringan rombongan mempelai pria itu terus bergerak. Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang.Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.
Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu. “Perang bangkat ini tradisi yang sudah berjalan turun temurun,” cetus Sanawi, sesepuh Suku Using yang kali ini berperan menjadi ketua rombongan pengantin laki-laki.
Pernikahan yang diharuskan melaksanakan tradisi perang bangkat ini, ternyata hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. “Atau sulung dapat anak bungsu, ini juga harus dilakukan perang bangkat,” sebut sesepuh adat yang tinggal di Dusun Sukorejo, Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Rogojampi itu.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. “Irus maksudnya pasangan pengantin harus terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya kalau ngomong jangan ngawur,” ungkap tokoh masyarakat lainnya Sapuan, yang dalam upacara ini bertindak sebagai penjaga gerbang dalam upacara tersebut.
Sanawi dan Sapuan mengaku tidak tahu, sejak kapan upacara tersebut mulai dilaksanakan. Yang jelas, ini sudah menjadi tradisi dan berlangsung turun-temurun. “Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan,” sebut Sapuan.
Dalam perang bakat ini, diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using. Semua itu, mirip dengan prosesi ijab dan kabul dalam sebuah pernikahan. “Tapi tradisi ini bukan ijab dan kabul lho, ini hanya upacara tradisi saja,” terang Sanawi.

sumber : radar Banyuwangi 

Tradisi perang bakat ini  pada tahun 80 an masih selalu dipakai secara turun-temurun......sekarang mungkin tidak adalagi prosesi tersebut......sebenarnya banyak tradisi masyarakat ataupun kesenian yang sudah tidak  ada lagi di masyarakat.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar