Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Angklung Caruk


anhklung caruk
angklung caruk di Banyuwangi

Kota Banyuwangi pantas disebut kota seni, karena mempunyai banyak mahakarya seni pertunjukan yang diwariskan oleh leluhur kita, salah satunya kesenian angklung caruk. Bagi sebagian masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Osing kesenian Angklung Caruk sudah tidak asing lagi. Sekitar satu dekade yang lalu kesenian ini masih menampakkan dirinya di beberapa acara yang diselenggarakan masyarakat seperti acara perkawinan, khitanan maupun acara lain seperti perayaan hari kemerdekaan RI. Namun sekarang ini sudah sangat jarang di jumpai. Setahu saya, dilingkungan sekitar tempat tinggal saya di kecamatan Glagah yang merupakan salah satu daerah berpenduduk mayoritas Osing sudah tidak pernah lagi kesenian ini dipentaskan. Sebenarnya kesenian ini sangat unik karena mengadung unsur sportifitas antara grup satu atau “panjak”(sebutan penabuh dalam bahasa Osing) dengan grup lainnya. Sebelum berbicara lebih lanjut ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu deskripsi tentang Angklung Caruk.
Angklung Caruk merupakan salah satu dari beragam kesenian yang berkembang di Banyuwangi. Pada mulanya angklung digunakan oleh petani di sawah untuk melepas lelah disaat istirahat. Angklung diletakkan di atas sebuah pondok yang tinggi atau masyarakat menyebutnya “paglak”, sehingga disebut “angklung paglak”. Selain itu para petani juga gemar mengguunakan angklung di saat memanen sawah mereka sebagai iringan musik. Uniknya zaman dahulu seorang petani yang memanen sawah memiliki tradisi “ngersoyo” ( gotong royong), pemilik sawah yang memanen sawahnya dibantu para kerabat dan tetangga sehingga si pemilik sawah memberikan sebuah hiburan kepada orang-orang yang telah membantunya di sawahnya dengan angklung yang diletakkan di “paglak”. Biasanya penabuhnya hanya terdiri dari 2 sampai 3 orang saja. Instrumennya terdiri dari 1 angklung (yang mirip dengan angklung di Bali) dan gendang berukuran kecil. Sembari menabuh angklung penabuhnya juga menyanyikan gending-gending khas Banyuwangi. Dari sinilah angklung caruk terbentuk.
Mengapa disebut agklung caruk? “Caruk” merupakan bahasa Osing yang berarti “temu” atau  “bertemu”, sehingga angklung caruk mempunyai pengertian dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung. Dua kelompok kesenian ini  saling beradu ketangkasan dalam memainkan angklung. Pada sesi pertama pertunjukan angklung caruk diawali dengan “larasan” yaitu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang laki-laki dari masing-masing kelompok yang disebut “badut”. Mereka bargantian menari sesuai dengan kesepakatan. Kemudian di sesi selanjutnya “adol gending” yaitu misalnya kelompok A memberikan aba-aba berupa ketukan sebuah lagu Banyuwangian yang ditujukan kepada kelompok B, dan jika kelompok B tahu ketukan tersebut maka dilanjutkan ketukan tersebut hingga membetuk sebuah iringan musik dan apabila kelompok B tidak bisa atau salah ditengah perjalanan maka kelompok A mengoloknya begitu sebaliknya. Walaupun terjadi “padu-paduan” (olokan dan ejekan). Uniknya kedua kelompok dan pendukungnya saling menjaga sportifitas dan kerukunan.
Namun sungguh sangat disayangkan, di era globalisasi ini sangat jarang bahkan tidak pernah kesenian angklung caruk menampkkan diri. Sekarang masyarakat Osing lebih cenderung menyukai musik dangdut koploan. Saya sendiri sebagai generasi muda yang hidup di era ini hanya pernah menonoton kesenian angklung caruk kira-kira dua kali seumur hidup, terakhir kali menonton angklung caruk waktu saya duduk di kelas enam SD. Sangat diharapkan saya bisa melihat lagi di waktu mendatang. Sehaursnya kita selaku generasi muda harus mengenal dan ikut melestarikan  kebudayaan luhur warisan nenek moyang, begitu juga pemerintah juga harus memberikan support dan apresiasi kepada pelaku seni, semisal mengadakan festival angklung caruk setiap hari jadi Banyuwangi, sehingga kesenian ini akan tetap eksis.

Sumber : hasansentot2008.blogdetik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar