Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

BAHASA OSING BANYUWANGI MENJADI BAHASA MULTIETNIS



Oleh Fachrur Rozi


Konon, bahasa Osing yang digunakan masyarakat Banyuwangi, sebelumnya hanya menjadi alat komunikasi bagi kaum minoritas yang tinggal di pedalaman.
Lambat laun, bahasa yang digunakan sebagian masyarakat adat osing di Desa Alien, Kecamatan Rogojampi, itu malah berkembang menjadi bahasa multietnis bagi mereka yang hidup dan tinggal di Banyuwangi, kabupaten paling timur di Jatim dan paling luas wilayahnya (lebih besar ketimbang Pulau Bali).
Artinya, bahasa Osing tidak lagi dipandang hanya untuk komunikasi suku osing, tetapi bagi mereka yang bersuku Jawa, Madura, Mataraman, dan Bali yang tinggal di "Bumi Blambangan" secara tidak langsung terpengaruh dan menggunakan bahasa itu.
Pengguna bahasa Osing aktif berada di 13 kecamatan dari 24 yang ada di Banyuwangi, yakni Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, Gambiran, Singojuruh, Licin, sebagian Genteng, serta sebagian Kota Banyuwangi.
Masing-masing desa pun mempunyai karakter berbeda dalam pengucapan kata dalam bahasa Osing. Orang Osing bisa menebak asal desa seseorang, hanya dengan mendengar intonasi pengucapan dialek Osingnya.
Warga Desa Kemiren dengan Alian berbeda pada penekanan lafal pengucapan, intonasi Kemiren cenderung singkat, tegas, dan lugas, sedangkan Alian sedikit ditarik.
Perbedaan lafal pengucapan ini tidak menjadi masalah bagi warga Banyuwangi. Mereka bisa menerima sebagai suatu bentuk keanekaragaman pemakaian Bahasa Osing dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Ketua Tim Bahasa Osing, Maskur, bahasa dan sastra Osing yang dulu lebih dikenal dengan bahasa dan sastra Blambangan, pernah mencapai kejayaanya pada abad XIV-XVIII.
Bahkan syair-syair Sri Tanjung, tokoh pejuang Banyuwangi dan Sudamala serta Sang Setyawan yang diakui sebagai puncak karya sastra aliran sastra Blambangan, telah dipahatkan di teras Pendapa Candi Penataran yang dibangun pada masa Majapahit tahun 1375.
Namun, peperangan dan kekuasaan VOC pada abad setelah itu menghentikan perkembangan bahasa dan sastra Blambangan yang kemudian berkembang hanya sebagai bahasa dan sastra lisan.
Para budayawan Banyuwangi menyadari bahasa dan sastra lisan bagaimanapun tidak akan pernah dapat diangkat sejajar dengan bahasa dan sastra tulis. Karena bahasa dan sastra lisan selalu mengalami kemungkinan kerusakan dan kepunahan dalam perkembangannya.
Itu terbukti dengan perkembangan bahasa dan sastra Osing yang lambat laun cenderung turun, seperti penelitian yang dilakukan Prof Dr Suparman Herusantoso dalam disertasinya di Universitas Indonesia pada 1987 dengan judul "Bahasa Osing di Kabupaten Banyuwangi".
Cenderung turunnya bahasa dan sastra osing juga diungkapkan oleh Prof Dr Suripan Hadi Utomo, pengajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Menurut mereka, masyarakat Banyuwangi lebih cenderung memilih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, ini lantaran bahasa Osing dianggap tidak mempunyai tingkatan tutur halus.
Di dalam bahasa Osing, kata Maksur, ada unsur pengaruh bahasa Bali. Misalnya, kosakata "sing" (tidak) dan "bojog" (monyet). Selain itu, juga dipengaruhi unsur bahasa Inggris.
Ia mencontohkan, seperti kata "sulung" yang artinya duluan, bahasa Inggris-nya "so long", dan "nagud" dari kata "no good" yang berarti jelek.
Tentunya ini menjadi pekerjaan berat bagi para budayawan untuk berupaya melestarikan, membina, mengembangkan, dan mengangkat kembali bahasa dan sastra Osing lisan sebagai sastra dan bahasa tulis, lantaran harus mengumpulkan sejumlah konsep pedoman umum ejaan bahasa baik melalui kamus, tata bahasa, pedoman umum ejan bahasa, dan sastra.
Perjalanan panjang dan melelahkan upaya menorehkan bahasa dan sastra Osing tulis diawali sejak tahun 1980, yaitu berdasar hasil kajian dan ide dari sejumlah budayawan dan peneliti bahasa. Pengumpulan konsep bahasa dan sastra tulis itu bisa rampung pada Februari 1991.
Hasil kajian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku pedoman umum ejaan dan kamus Bahasa Osing yang disusun budayawan dan pengamat bahasa Osing, Hasan Ali.
Penyusunan buku ini dilakukan secara deskriptif dan disesuaikan dengan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang disempurnakan.
Kamus Bahasa Osing itu sendiri hingga kini sudah cetakan edisi kelima, yang materinya terus disempurnakan hingga terkumpul 4.000 lebih kosakata.
Buku pedoman bahasa Osing tersebut akhirnya dijadikan pedoman, baik dalam kegiatan kebahasaan daerah sehari-hari maupun dalam kegiatan penulisan media cetak, khususnya dalam pengajaran bahasa Osing di sekolah.

Dunia Pendidikan
Setelah berhasil disadurkan dalam bentuk sastra dan bahasa tulis, upaya melestarikan bahasa itu terus dikembangkan salah satunya dengan memasukkan bahasa Osing sebagai mata pelajaran di sekolah (muatan lokal).
Gagasan itu muncul dari dorongan Bupati Purnomo Sidiq pada tahun 1994. Dia mengajukan usulan itu dalam Kongres Bahasa Jawa di Kota Batu, Jatim, dan Solo, Jateng.
Kemudian pada 1996, ditindaklanjuti dengan keluarnya surat keputusan bupati nomor 428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Osing sebagai Kurikulum Muatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi.
Awal 1997, kebijakan memasukkan bahasa Osing dalam muatan lokal itu dicoba dilakukan di tiga sekolah dasar di tiga kecamatan, Banyuwangi, Rogojampi, dan Kabat.
Ketika itu, Pemkab tidak langsung memberlakukan serempak pembelajaran bahasa Osing, lantaran sejumlah sekolah sempat menolak memasukkan bahasa Osing dalam muatan lokal, khususnya sekolah dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi.
Padahal tujuan awal program tersebut bukan berarti mewajibkan Orang Madura atau Jawa harus bisa berbahasa osing, tetapi setidaknya mereka bisa mengenal bahasa Osing Banyuwangi.
Lambat laun kebijakan ini bisa berkembang ke sekolah lainnya, ketika sedikitnya ada 10 sekolah di tiga kecamatan yang menerapkan pembelajaran bahasa Osing yang kemudian berlanjut hampir di tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah dasar yang menerapkannya.
Kemudian di era Bupati Samsul Hadi, program pengembangan pembelajaran bahasa Osing di sekolah terus berlanjut, bahkan bupati mewajibkan semua sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memasukkan bahasa Osing dalam mata pelajaran di sekolah.
Berikutnya ditindaklanjuti di era Bupati Ratna Ani Lestari dengan diterbitkannya peraturan daerah (perda) Nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar.
Ada lima materi yang diajarkan dalam pembelajaran bahasa Osing, mulai dari cara membaca, mendengarkan, menulis, sastra osing, dan berbicara.
Kebijakan memasukkan kurikulum bahasa Osing dipandang cukup berhasil di tingkat SD, kendati itu tidak dijumpai di tingkat SMP. Pasalnya, hingga kini baru 15 SMP yang menerapkan pembelajaran bahasa itu.
Menurut Sekretaris Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri, masih banyaknya sekolah yang belum menerapkan pembelajaran bahasa Osing kepada siswanya karena terkendala tidak adanya tenaga pengajar yang bisa menguasai bahasa Osing.
Selama ini, kata Basri yang juga menjadi guru bahasa Osing di SMP 1 Banyuwangi, para guru merasa dibebani dengan dimasukkanya materi pembelajaran bahasa Osing dengan berbagai alasan, mulai dari singkatnya pelatihan yang hanya membutuhkan waktu tiga hari.
Selain itu, tidak adanya guru yang lulusan dari sarjana bahasa Osing, yang ada hanya guru lulusan bahasa Jawa. Sehingga, solusinya meminta kepada guru itu untuk merangkap.
Dewan Kesenian Blambangan sempat mengusulkan adanya tambahan tunjangan jam mengajar bagi guru yang memberikan mata pelajaran bahasa Osing, namun usulan itu belum bisa terealisasi dengan alasan khawatir terkendala dampak hukum.
Kendati sudah hampir 12 tahun berjalan merambah di dunia pendidikan, belum ada terobosan untuk menyelesaikan kendala kurangnya tenaga pengajar yang khusus mengajar Bahasa Osing.
Bahkan, di era Bupati Ratna Ani Lestari perkembangan masalah itu berjalan di tempat. Kurang begitu berpihaknya Bupati Ratna terhadap pembelajaran bahasa Osing di sekolah, kata Hasan Basri, terbukti dengan dipangkasnya anggaran untuk penerbitan buku pedoman Bahasa Osing.
Berbeda dengan pemerintahan di zaman Samsul Hadi dan Purnomo Sidiq yang setiap tahunnya mengalokasikan anggaran mencapai Rp150 juta, digunakan untuk pencetakan sejumlah buku Bahasa Osing yang dibagikan kepada pengajar untuk menambah pengetahuan.
Terpaksa, kata Hasan, untuk pencetakan buku tahun ini diserahkan ke pihak ketiga CV Cahaya yang tahun ini mencetak 500 eksemplar buku Panduan Bahasa Osing yang akan dikomersilkan ke masing-masing sekolah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi Sulihtiyono mengatakan, tahun ini pihaknya telah menyiapkan pelatihan kepada sedikitnya 100 tenaga pengajar yang khusus dibekali materi pembelajaran bahasa Osing.
Mereka nanti akan ditempatkan di beberapa sekolah mulai SD hingga SMP yang membutuhkan guru bahasa Osing.
Diakuinya, masih minimnya jumlah guru mata pelajaran bahasa Osing, karena belum adanya universitas di Banyuwangi yang membuka jurusan bahasa Osing.
"Kekurangan guru Bahasa Osing ini masih 50 persen, terpaksa para guru harus merangkap tugas baik sebagai guru mata pelajaran umum juga guru bahasa Osing," ungkapnya.

Kesenian Banyuwangi
Pesatnya perkembangan bahasa Osing salah satunya karena kuatnya kesenian di Banyuwangi. Lihat saja sejumlah kekentalan tradisi adat hingga kesenian tari di Banyuwangi yang masih tetap dipertahankan.
Misalnya, Seblang Olehsari dan Bakungan, adat Kebo-keboan, tari gandrung yang semuanya gending pengiringnya menggunakan bahasa Osing.
Tidak hanya itu, sejumlah nama seniman Banyuwangi juga begitu dikenal, seperti Mohammad Arifin pencipta lagu Genjer-genjer, Hasan Ali budayawan Banyuwangi yang juga penerbit kamus Bahasa Osing, Asnan Singodimayan pemerhati budaya, dan masih banyak lainnya.
Lagu-lagu berbahasa Osing Banyuwangi pun juga banyak digemari. Hampir setiap dikeluarkannya album Osing Banyuwangi selalu laris manis di pasaran, sehingga industri musik di Banyuwangi selalu mendapat untung.
Seakan menjadi sebuah industri yang banyak meraup rupiah, hampir semua radio di Banyuwangi tidak ingin ketinggalan memberikan acara khusus berbahasa Osing, baik dalam bentuk pemutaran lagu-lagu, hingga interaktir percakapan dan pembelajaran bahasa Osing.
Seperti yang diutarakan direktur sebuah radio di Banyuwangi, I Wayan Artha, program berbahasa Osing yang dinamai patrol menjadi salah satu acara favorit yang paling digemari pendengar.
Upaya pelestarian bahasa Osing tidak hanya dituangkan dalam bentuk lagu-lagu Banyuwangi, namun pengenalan bahasa Osing juga dilakukan oleh sejumlah organisasi perkumpulan masyarakat Banyuwangi yang merantau ke luar daerah dan tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Banyuwangi (Ikawangi).
Menurut Humas Ikawangi Nurhidayat, organisasi itu merupakan induk perkumpulan dari puluhan komunitas orang Banyuwangi, mulai dari "Lare Osing" (Laros), Pemuda Banyuwangi (Pelangi), Osengbaen, Laros Jaga Tarok, Kelompok Mahasiswa Banyuwangi, Prajurit Blambangan, dan "Blambangan Family Club".
"Jika dijumlah total anggota yang tergabung dalam Ikawangi se-Jabodetabek sebanyak 12 ribu KK, belum lagi mereka yang tergabung dalam blog dan milis di internet di luar Jawa," paparnya.
Setiap kumpul bersama komunitas Ikawangi, kata Dayat Osing panggilan akrabnya, mereka selalu menggunakan bahasa Osing, bahkan banyak masyarakat luar Banyuwangi yang tertarik mempelajari bahasa itu.
Seperti halnya "Anak Betawi" dan "Arek Suroboyo", para pemuda dan orang-orang Banyuwangi punya sebutan sendiri: "Lare Osing".
Begitulah mereka menamakan dirinya. Entah itu yang bersuku Osing atau tidak, yang berbahasa Osing atau tidak, tetapi asalkan mereka bangga dan merasa punya suatu ikatan dengan Bumi Blambangan, Banyuwangi tercinta, di dalam hati mereka akan berkata, "Isun Lare Osing!" (saya pemuda osing).
(L.PSO-075*C004/B/s018/s018) 24-10-2009 16:04:16



Posted by : Arvino Zulka / (ANTARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar