Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”


Mulo
hing keneng ditinggyalaken kang aran sejarah ring pengilingyan ison lan riko kabyeh. paran maning kang ono sangkute ambi sembyah buyute wong osing.masio tah jyamane wes berubah di terak ambi kemajuan jyaman,koyo sandal pedhot diterak banyu kang belabor....ayo kabyeh podo majau tapi ojok sampek kedhapen nyang kang aran kemajuan jyaman lan lalai nyang sejarahe dewek.masio sejarah kang seneng lan sejarah kang ngenes koyok sejarahe puputan bayu........
mulo konco-konco lare/wong osing iki jarang kang ngerti jatidhiri/sejarahe dewek....
ring oret-oretan ikay, masio tah sumbere teko ring endi-endi byain...mugo-mugo keneng di gyawe pengiling-iling lan ono manpaatek..


Rofiklaros/Ki kuda kedhapan


Arsip Blog

Bukan dialek tapi bahasa daerah
















Hasan Ali

Cinta Hasan Ali pada bahasa Osing bukan hanya dituangkan dalam Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Ia melawan arus, bersilang pendapat dengan para pakar bahasa Jawa. Menurut Hasan, bahasa Osing adalah bahasa daerah yang berkembang di tengah etnis Osing di Banyuwangi. Sedangkan para pakar bahasa Jawa yakin bahasa Osing tak lebih dari dialek saja. Menurut mereka, bahasa Osing adalah bahasa Jawa berdialek Osing atau dialek Banyuwangi.
Hasan tak hanya berperang wacana di media massa. Dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang, tahun 1996, ia tampil sebagai pembicara. Di depan ratusan pakar bahasa Jawa, ia menegaskan bahwa bahasa Osing adalah bahasa daerah dan bukan sekadar dialek. Kesimpulan ini berangkat dari penelitian Prof. Dr. Suparman Heru Santosa. Setelah melewati uji rumus dan teori linguistik, bahasa Osing dinyatakan sebagai dialek dari bahasa Jawa Kuno. "Artinya, sama dengan bahasa Jawa Baru, Madura, Sunda, sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno," katanya.
Budayawan Banyuwangi ini tak menampik adanya kedekatan ungkapan antara bahasa Osing dan bahasa Jawa. Misalnya kosakata "sekali lagi". Masyarakat Osing menyebutnya "maning" dan orang Jawa bilang "maneh". Contoh lain kalimat "ada apa?". Dalam bahasa Jawa biasa diungkapkan "ono opo?". Sedangkan dalam bahasa Osing diungkapkan dengan "ono paran?". Adanya kesamaan leksikon dan pinjam-meminjam istilah ini, "Sesuatu yang lumrah dan wajar," kata pria berdarah Madura, Pakistan, dan Osing ini.
Novi Anoegrajekti, dosen Fakultas Sastra Universitas Jember, dalam pengantar novel Kerudung Santet Gandrung, punya pendapat menarik tentang bahasa Osing. Masyarakat Osing adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan kecil di ujung timur pulau Jawa yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Penyerbuan terus-menerus oleh Majapahit membuat masyarakat Osing cenderung defensif, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Dan itulah potensi oposisi terhadap orang-orang Jawa Kulon.
Sikap oposisi ini diwujudkan dalam bentuk sosio-kultural. Masyarakat Osing enggan mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa. Mereka menegaskan identitas diri yang berbeda. Salah satunya, "Menggunakan bahasa Osing," kata Novi. Selain itu, muncul kesenian gandrung yang sebenarnya mirip tayub dan ronggeng di Jawa Tengah. "Ini contoh mereka menegaskan identitas dirinya," katanya.
Istilah Osing sendiri berasal dari kata sing atau hing, yang berarti "tidak". Menurut Novi, penduduk "asli" Banyuwangi yang menolak hidup bersama pendatang dari luar, sikap defensif ini buah dari trauma psikologi penyerbuan orang-orang Majapahit ke Kerajaan Blambangan. Penegasan identitas diri itu melahirkan bahasa, tradisi, dan pranata sosial yang berbeda dengan masyarakat Jawa kebanyakan.
Bahasa Osing pernah mencapai masa kejayaan ketika Prabu Tawang Alun (1655-1691) menjadi penguasa Kerajaan Blambangan. Pada 1743, Blambangan harus berada di ketiak VOC gara-gara Pakubuwono II menyerahkan Jawa Bagian Timur kepada VOC. Untuk memperkuat argumentasi ini, Hasan Ali menyodorkan cerita tentang Sri Tanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan. "Tapi, setelah masa itu, bahasa Osing mengalami kemunduran," kata Hasan, yang telah menulis buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using sebagai kurikulum sekolah.
Bisa jadi rasa malu itu membuat masyarakat Osing sendiri beralih ke bahasa Jawa. Apalagi, sebelum Hasan Ali memperjuangkannya masuk kurikulum sekolah, nyaris tak ada sekolah yang mengajarkan bahasa Osing. Kondisi rawan ini membuat Hasan tergugah. "Kalau dibiarkan, dalam satu abad bahasa Osing akan punah," katanya. Senyampang belum parah dan punah, tak salah jika Hasan bercapek-capek mewariskan dokumentasi tertulis berupa kamus. Arif Firmansyah, Mahbub Junaedi (Banyuwangi)
Hasan yang juga ayah dan kakek dari penyanyi Emilia Kontesa dan Dedana Tambunan ini memang tidak bisa dilepaskan dari budaya Suku Using. Sejak mengenal kesenian yang disebut-sebut sebagai “sisa” masyarakat Kerajaan Blambangan itu saat dirinya remaja, Hasan tidak pernah bisa melupakannya. Karena itu juga, ketika teman-teman sebayanya memilih bermain di sawah, Hasan muda justru berlajar kesenian Using. "Sejak remaja saya suka kesenian Using," kenangnya. Kegemarannya berkesenian semakin mendapatkan “tempat” saat Hasan tergabung dalam kelompok kesenian di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Karena kesenian jugalah, akhirnya saya dipercaya PNI menjadi anggota DPRD Banyuwangi hingga tahun 1966,” kenang Hasan Ali. Ironisnya, pertikaian politik jaman itu juga sempat memposisikan Hasan dalam “bahaya”. Apalagi saat Muhammad Arif, pencipta lagu Genjer-Genjer bersama ratusan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lainnya hilang usai peristiwa Gerakan 30 September. Peristiwa itu juga yang membuat kesenian Banyuwangi, “tiba-tiba” diidentifikasi sebagai seni milik PKI.

Padahal, kenang Hasan, yang terjadi justru sebaliknya. PKI-lah yang sebenarnya ingin menghapus seni Banyuwangi. Karena dianggap sebagai seni yang mendorong merosotnya moral masyarakat. “Memang benar, PKI menggunakan lagu Genjer-Genjer sebagai lagi perjuangan, tapi di samping itu, justru PKI yang melarang tari Gandrung Banyuwangi, karena dianggap merosotkan moral masyarakat,” katanya.

Lagu Genjer-Genjer, kata Hasan, diciptakan Arif pada jaman Jepang, sebagai penyemangat masyarakat yang kala itu diselimuti kemiskinan. Sementara Tari Gandrung Banyuwangi tak lebih dari tarian pergaulan. Tidak ada makna lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan penari Gandrung juga berupa pantun-pantun lokal yang memiliki nilai kearifan. “Biru-biru godonge manggis jeruk purut digawe gemparan, buru-buru omongi manis serto diturut gak paran-paran,” Hasan menyanyikan sebuah syair yang biasa dinyanyikan dalam Tari Gandrung.

Kesan amoral dalam tarian itu muncul karena ada orang tertentu yang memperlakuan gandrung dengan tidak semestinya. Dengan mempertontonkan tarian itu di lokalisasi-lokalisasi di Banyuwangi. “Pelan-pelan, Tari Gandrung pun diidentikkan sebagai tarian mesum,” katanya.

Keadaan berubah pasca tahun 1965. Hasan yang ketika itu sudah bertugas sebagai pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi, diminta mantan Bupati Joko Supaat Slamet untuk “menyelamatkan” tari Gandrung. “Saya dan teman-teman membuat rumusan untuk kembali membina Tari Gandrung menjadi tari pergaulan anak mua dengan cara yang santun dan bagus,” katanya. Puluhan seniman lokal pun dikumpulkan dan diajak berdiskusi. Singkat kata, Tari Gandrung pun kembali “dipandang”. Bahkan sempat diundang ke Istana Negara saat Mantan Presiden Soeharto masih berkuasa. Tari Gandrung kini menjadi simbol Kabupaten Banyuwangi.

Di sela-sela memperbaiki image Tari Gandrung Banyuwangi itu, Hasan menemukan “permata” Banyuwangi lain yang juga diambang kepunahan. Yakni bahasa Using milik Suku Using Banyuwangi. Bahasa yang digunakan Suku Using ini pelan-pelan mulai hilang di masyarakat. Tidak ada lagi warga Banyuwangi, bahkan warga Suku Using yang menggunakannya. “Entah, tiba-tiba mereka malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri,” kata Hasan.

Hasan lantas mengajak beberapa seniman Banyuwangi lain untuk mengadakan seminar kecil bertema cara mempertahankan Bahasa Using. Rumusan terpenting dari seminar yang digelar pada tahun 1980-an itu adalah memperkenalkan Bahasa Using di pendidikan dasar. “Tapi hal itu bukan hal yang mudah, tidak seperti bahasa Jawa yang sudah turun temurun terbukukan dengan baik, selama ini tidak ada buku panduan berbahasa Using,” katanya. Untuk itu, agenda pertama penyelamatan Bahasa Using adalah membuat buku panduan Bahasa Using.

Hasan lantas mengumpulkan semua data tentang Suku Using yang dimilikinya. Termasuk 28000 kata bahasa Using yang hingga kini sebagian besar masih digunakan. Hingga 10 tahun kemudian, Hasan Ali secara resmi mengeluarkan tiga buku Tata Bahasa, Pedoman Ejaan dan Kamus bahasa Using. "Bahasa Using memiliki spesifikasi dan kekhasan pada pengucapan dan perbedaan kosakatanya," jelas Hasan. Dari tiga buku yang diciptakan Hasan, yang paling sulit adalah buku Tata Bahasa Using. Dalam prosesnya, mantan Ketua Dewan Kesenian Banyuwangi ini harus belajar bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Bali sebagai bahan perbandingan.

Kekhasan Bahasa Using terletak pada paratalisasi unsur, M, N, NYE, ENG, R, LE, W dan Y yang dalam pengucapanya ditambahi huruf I atau U. Selin itu, ada penekakan dan kedalaman pengucapan. misalnya siro (kamu-JAWA) menjadi sihrho. Limo (lima-JAWA) menjadi lhimho. Begitu juga dengan kuno (lama-JAWA) jadi kunho. "Saya menduga, bahasa Using itu juga ada keterkaitan dengan bahasa Bali yang terlihat dari adanya kata yang memiliki arti yang sama," kata Hasan.

Bahasa minang apakah juga dialek.....? 
Seperti juga kita ketahui bahasa minang.. secara keseluruhan  adalah bhs indonesia yg banyak di rubah.baik disingkat ataupun ditambahi. ....apakah bisa juga disebut dialek minang????
coba kita bandingkan dengan  bahasa minang,jambi,palemban yang juga rata-rata hampir sama dengan bahasa melayu. bhs minang  pada dasarnya adalah bahsa melayu. hanya disisipi akhiran2 tertentu .misal kambing= kambiang, kucing = kuciang,goreng = goreang....dan masih banyak lagi kata2 yang berubah pengucapan2 karena penyingkatan atau penambahan akhiran2 tertentu....berbeda  dengan bahasa osing yang dominan adalah kata kata lain yang tidak termasuk dalam bahasa jawa kebanyakan.... .disini  seharusnya bisa dijadikan reverensi /pedoman untuk menilai sejauh mana dialek secara umum .

kelendi kang.................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar