Sebuah kesenian tari arkais yang sarat akan kekuatan metafisic. Hanya dengan kekuatan supranatural, seorang perempuan menjadi in-trance dan menari melenggak-lenggok mengikuti gamelan serta koor yang berkumandang. Benarkah kesenian tari yang digerakkan oleh kekuatan roh halus itu merupakan cikal bakal gandrung ? Mengapa kandidat penari seblangnya menolak untuk menari ? Sebuah catatan dari pertunjukan Seblang tahun 1993 di Banyuwangi.
Oleh : Elvin Hendratha *)
Upacara kesenian ritual Seblang adalah salah satu bentuk tradisi tari sakral yang bermotivaskan agraris sprtual. Bertujuan untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan tanah atau mengusir penyakit. Dengan mengadakan Seblang, masyarakat setempat akan terhindar dari malapetaka.
Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau. Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi, sekarang penyelenggaranya hanya terdapat di 2 (dua) tempat : Kelurahan Bakungan dan di Desa Olehsari. Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui wadag seorang perempuan.
Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau. Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi, sekarang penyelenggaranya hanya terdapat di 2 (dua) tempat : Kelurahan Bakungan dan di Desa Olehsari. Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui wadag seorang perempuan.
Upacara Seblang biasa dilakukan di pedesaan, konon pada abad ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang bangsawan Blambangan yang bernama LOKENTO. Tetapi Seblang yang dilakukan di Pendopo Kadipaten dan dikenal orang dengan nama "Seblang Lokento" itu kini telah musnah.
Menurut catatan di buku historis di Desa Olehsari, Seblang pernah tidak diselenggarakan antara tahun 1943 s/d 1956. Bagi masyarakat Olehsari ketiadaan acara Seblang seperti merasa kehilangan sesuatu. Pageblug terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit terhadap ternak dan manusia tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara tersebut dimulai lagi. Konon suasana jadi pulih.
Isyu klasik tentang terseoknya dana panitia disetiap tahun penyelengaraan, masih saja selalu berhembus. Hasil penjualan Kembang Dirmo, pendapatan jasa parkir, tampaknya kurang mengcover cost yang dikeluarkan. Hanya karena dilambari rasa tanggung jawab kepada leluhur mereka, maka tiap tahunnya penduduk bahu-membahu mengupayakan terselengaranya acara ini. Akankah Seblang akan bernasib sama dengan Seblang Lokento ?
Menonton Seblang di Olehsari
Masih dalam suasana Lebaran, di Desa Olehsari (sekitar 5 km sebelah barat Kota Banyuwangi) diselengarakan acara adat tahunan Seblang. sebenarnya tak begitu sulit mencari lokasi karena arena, karena dari kejauhan sudah terdengar musik gamelan yang "ngelangut' sekakan-akan memanggil siapa saja untuk datang.
Walaupun siang itu cukup terik, disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan mengikuti acara Seblang. Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu dibuka jalur yang disediakan untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga disediakan kursi-kursi kosong. Siapapun tak berani menginjak jalur atau menduduki kursi tersebut, karena untuk tamu-tamu gaib.
Di pusat upacara tampak sebuah tonggak berupa tongkat panjang yang ditempel batang tebu segar. Disisi tonggak tertanam kokoh sebuah Payung Agung. Selain berfungsi sebagai sebagai tempat Pemain Musik, sepertinya juga merupakan ekspresi Yoni, yaitu sentral kegiatan upacara yang bersifat metafisic tersebut.
Di sebelah barat, tak kurang 8 (delapan) orang wanita setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden) duduk di sebuah gubuk tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang. Pada gubuk yang beratapkan daun nyiur tersebut, bergelantungan puluhan buah-buahan dan Poro-Bungkil (hasil bumi) yang merupakan simbolis kemakmuran desa.
Tak lama muncullah seorang gadis yang berpakaian aneh. Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda dituntun oleh seorang wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang menuju ke pusat kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari seblang itu pelan-pelan dituntun dan didudukkan di dekat "prapen" empat asap kemenyan mengepul...
Seorang dukun atau pawang paling tua, Mbah Asnan (70 tahun), tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas pedupaan seraya berkomat-kamit mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil tersebut disorongkan ke arah Salwati. Saat Salwati menerima Nyiru itu, seketika itu iapun terkulai lemas tak sadarkan diri.
Diiringi oleh para pawang sebanyak 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) pria dan 2 (dua) wanita kesemuanya berusia lanjut. Salwati menjadi 'kejimen' (baca : in-trance) dan menari gontai dengan indahnya. Terdengar mengalun gending pembuka 'Seblang Lokento' Salwati terus menari mengelilingi arena yang luasnya 7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung. "Seblang yo Lokento sing dadi encakono ..." berulang-ulang dinyanyikan oleh para pesinden dengan antusias penuh riang.
Dengan mata terpejam,penari seblang sesekali seperti mengajak bercanda para penonton dengan mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika itu pula penonton memberi semangat dengan seloroh-seloroh bernada canda.Sang penaripun menyambut canda manis itu dengan goyangan pinggulnya yang indah.
Disaat rombongan koor mendendangkan tembang 'Kembang Dirmo' saat itu pula susunan bunga-bungaan aneka warna yang terdiri dari 5 (lima)sampai 7 (tujuh) kembang yang disusun dalam tusukan lidi mirip sate, dijajakan kepada penonton. Maka berebutlah para muda mudi membelinya. Karena kabarnya cukup bertuah untuk urusan cinta asmara.Adegan lain yang juga tak kurang menarik adalah atraksi 'Ngibing'. Ini terjadi di hari ketiga dan seterusnya dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari seblang oleh para pawang tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah meja yang tersedia,sehingga tampak lebih tinggi dari penonton. Mendadak penari tersebut melemparkan sampur ke arah penonton. Siapa saja yang tertimpa selendang (biasanya laki-laki), haruslah bersedia menari bersama dengan sang penari Seblang. Pada acara yang cukup atraktif tersebut, begitu seseorang selesai 'ngibing' dengan penari Seblang, maka dliemparlah berulang kepada yang lain. Sehingga berkesan bergiliran.
Anehnya saat senja turun, terjadi adegan yang cukup mengharukan hati. Penari Seblang tampak memperlihatakan kegirangannya tatkala gending "Chondro Dewi" dinyanyikan. Dengan suka citanya, penari Seblang mencapai puncak orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi kelelahan dan kemudian terkulai pingsan ....
Tetapi ajaib, begitu lagu "Erang-erang" berkumandang, secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan membangkitkan kembali sang penari dari pingsannya. Mnurut beberapa sumber, membangkitkan kembali dari pingsannya adalah pekerjaan sulit bagi "Pengutuk" (pawang) yang merupakan mediator dengan mahluk halus tersebut. Hrus dilakukan extra hati-hati, karena merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Khabarnya jika tidak berhasil maka sang penari bisa kehilangan nyawa.
Akhirnya ketika Matahari nyaris lenyap di balik Pegunungan Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi : "Sampun Mbah Ktut sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh". Artinya kurang lebih demikian : "Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah berakhir, pengunjung sudah akan pulang". Begitu usai diulang-ulang sebayak 10 (sepuluh) kali, sang penari Seblang tampak sadar kembali layaknya orang bangun dari tidurnya. Terbersit raut kebingungan di rona penari. Sesekali ia mnyingkap rumbai-rumbai daun yang menatap wajahnya, Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya ia harus bertugas menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.
Menonton Seblang di Olehsari tahun ini, ada satu hal yang sangat menarik. Seperti diketahui, prosesi penunjukkan kandidat penari Seblang juga tak luput dari aspek kekuatan supranatural. Setiap bulan puasa menjelang hari raya Lebaran, gergiliran salah satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia 30 (tiga puluh) tahun ketas kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang diluar kesadarannya menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu berarti Wiwin adalah anak perawan yang tiba bergiliran menjadi penari Seblang tahun ini.
Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang ditunjuk oleh Roh Halus sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia. Mengapa sampai demikian ? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ? Seorang pemuda yang saya temui di arena pertunjukkan mengatakan : "Wiwin, heng oleh ambi sir-siranek !!". "Wiwin tidak boleh (menari) sama pacarnya" demikian ujarnya sambil menikmati pertunjukan Seblang.
Semenjak dahulu, penari Seblang selalu memiliki garis keturunan dengan penari-penari Seblang sebelumnya. Sehingga, karena warga takut dengan batalnya acara sakral tersebut, Salwati (yang masih bersaudara dengan Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh kesadaran Salwati akhirnya bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidak sediaan WIwin sebagai penari tahun ini, seorang tetua mengatakan : "Kadung ono paran-paran, ison heng ero jawanek !!" Artinya : "Jika ternyata terjadi sesuatu, saya tidak tahu menahu !!' Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin mengalami "Stress dan depresi yang aneh".
Perbedaan dengan Seblang di Bakungan
Secara awam jika kita perhatikan sepintas, prosesi penyelenggaraan Seblang di Bakungan tidaklah jauh berbeda dengan di Olehsari. Meskipun jelas banyak sekali terdapat perbedaan jika kita tinjau lebih mendalam.
Di Bakungan persiapan Seblang dimulai dengan mempersiapkan sesaji dan membersihkan benda-benda pusaka di "Balai Tajuk". Disusul dengan pawai obor "Ider bumi" dengan mengumandangkan Adzan, Istigfar dan doa Qunut. Tak ketinggalan "selamatan kampung" dengan sajian berupa Nasi Putih dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa dengan sayuran terung, pakis dan kacang panjang yang tidak boleh dipotong-potong.
Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum'at pertama bulan Haji (Besar).
Penunjukkan Siapa bakal penari Seblang di Kelurahan Bakungan dilakukan atas dasar 'wisik gaib' yang diterima Sang Pawang, bukan lewat seorang ibu setengah baya yang kesurupan sepertihalnya di Desa Olehsari. Dan penari Seblang di Bakungan dilakukan oleh seorang janda tua, bukan seorang anak perawan yang baru akil balik.
Beberapa hal yang berbeda lagi antara keduanya adalah mengenai "Omprok" (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan Bakungan, Omprok penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan di Desa Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab bahannya terbuat dari daun pisang yang cepat layu.
Sedangkan untuk instrumen musik pendukung pada Seblang Bakungan menggunakan perangkat Gamelan Jawa laras Selendro dan terkadang ditambahkan Biola. namun berlainan dengan di Olehsari yang mempergunakan 'Instrumen banyuwangi' yamg terdiri dari : Kendang, Gong, Peking, Slenthem dan Biola.
Kemudian karena penari Seblang di Bakungan menari dengan membawa keris yang terhunus, sehingga di acara penutup terdapat prosesi "Manjer Keling" yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua Keris yang dipegangnya. Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.
Gandrung Banyuwangi
Sampai sekarang orang masih mempertanyakan, apakah Seblang merupakan cikal bakal kesenian Banyuwangi yang bernama Gandrung ? Awalnya penari Gandrung, bukanlah seorang perempuan. Dahulu Gandrung ditarikan oleh laki-laki, orang menyebutnya Gandrung Lanang. Pada perkembangannya di sekitar tahun 1890, di desa Cungking muncullah penari seblang yang bernama Semi. Nadar Mak Midah, ibu Semi, untuk menjadikannya anaknya penari Seblang apabila sembuh dari sakitnya, justru menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan kesenian Banyuwangi. Semi yang semula tidak mengenal tari menjadi bisa menari dengan begitu bagusnya ketika kemasukan Roh Gaib.
Pada perkembangannya Semi menari keliling kampung dan desa dengan iringan Gambang dan Kendang. Seblangan semi menjadi terkenal dan begitu populer . Semi menjadi primadona mengalahkan Gandrung Lanang. Sehingga terlahirlah bentuk kesenian Gandrung Banyuwangi. Kelak Gandrung Banyuwangi tersebut merupakan sumber inspirasi gerak tari bagi para pencipta tari.
Mengamati secara cermat adanya relasi pada kedua jenis kesenian tersebut, akan semakin jelas dari aspek gending dan gerakannya. Gending-gending yang dibawakan pada kesenian Seblang pada dasarnya adalah puisi etnik yang satrat akan amanat. Seperti gending "Podo Nonton", pada puisi yang berbentuk metafora itu pengarang mencoba bercerita tentang kekejaman culture stelsel atau tanam paksanya kolonial Belanda(perhatikan lampiran syair gending Podo Nonton. Atau seperti halnya gending "Layar-layar Kemendung" yang merupakan potret perjuangan perang gerilya di sekitar tahun 1776. Sebagian besar gending-gending yang dinyanyikan d kesenian Seblang, juga dinyanyikan pada kesenian Gandrung Banyuwangi utamanya untuk paket Klasik. Gending : Kembang Pepe, Cengkir Gading, Sekar Jenang, atau Chondro Dewi pada kesenian Seblang, masih saja dinyanyikan juga oleh Gandrung-Gandrung hingga sekarang. Terlebih apabila kita perhatikan gaya dasar Tari Gandrung Banyuwangi adalah gerakan Tari Seblang yang telah dibungkus dengan erotisasi dan penonjolan sex apple. Sebuah dekadensi dari tuntutan berkesenian.
Akhirnya mungkin masih banyak yang memperdebatkannya, tetapi lyang ebih penting bahwasannya eksistensi Seblang (dan Gandrung) merupakan salah satu kekayaan keragaman seni tari di persada Nusantara yang tak ternilai harganya....(Elv)
==============================================
Podo Nonton
Podo nonton, pudak sempal ring lelurungYa, pendite pudak sempal, lambeyane para putraPara putra, kejalan ring kedung LewungYa, jalang jala sutra, tampange tampang kencana
Kembang Menur, melik-melik ring bebenturYa, sun siram alum, sun petik nyirat atiLare angon, gumuk iku paculanaTandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan
Kembang Gadung, sak bulung ditawa sewuNora murah nora larang, kang nowo wong adol kembang
Wong adol kembang sun barisno ring TemenggunganSun iring Payung Agung, labeyane mebat manyun
Kembang Abang, selebrang tiba ring kasurMbah Teji balenana, sun enteni ning pasebanPaseban Agung, kidemang mangan nginumSleregan wong ngunus keris, gendam gendis kurang abyur
Terjemahannya :
Semua Menyaksikan
Semua menyaksikan, tubuh yang bergelimpangan di jalan
Tubuh yang bersabuk emas, pertanda mereka adalah putra-putri
Putra-putri yang tertipu di kelokan air
Ya, tertipu pada sebuah jala dari sutera yang bertatahkan Kencana
Bunga Melati, indah menawan di sudut halaman
Kusiram layu, kupetik menyentuh hati
Wahai anak gembala cangkul bukit itu
Tanamlah kacang panjang, seuntai seharga anak perawan
Bunga yang memabukkan, sekuntum ditawar seribu
Tiada murah, tiada mahal, telh ditawar penjaja bunga
Penjaja bunga, kujajarkan di Temenggungan
Kuiringi Payung Agung, melambaikan keagungan
Kembang merah, indah di petilaman
Ingatlah semangat Mbah Teji, kutunggu di depan sekali
Di Pendapa Agung, para penguasa makan dan minum
Gemerincing senjata (keris) dihunus, laksana gula jawa yang mencair
Tubuh yang bersabuk emas, pertanda mereka adalah putra-putri
Putra-putri yang tertipu di kelokan air
Ya, tertipu pada sebuah jala dari sutera yang bertatahkan Kencana
Bunga Melati, indah menawan di sudut halaman
Kusiram layu, kupetik menyentuh hati
Wahai anak gembala cangkul bukit itu
Tanamlah kacang panjang, seuntai seharga anak perawan
Bunga yang memabukkan, sekuntum ditawar seribu
Tiada murah, tiada mahal, telh ditawar penjaja bunga
Penjaja bunga, kujajarkan di Temenggungan
Kuiringi Payung Agung, melambaikan keagungan
Kembang merah, indah di petilaman
Ingatlah semangat Mbah Teji, kutunggu di depan sekali
Di Pendapa Agung, para penguasa makan dan minum
Gemerincing senjata (keris) dihunus, laksana gula jawa yang mencair
sumber:
http://ravindata.multiply.com/journal/item/136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar